Putusan MK Soal Permufakatan Jahat Cegah Kriminalisasi
- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA.co.id – Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto terkait permufakatan jahat. Dengan kemenangan tersebut, rakyat Indonesia dinilai lebih terjamin privasi komunikasinya, dan keamanan komunikasi dilindungi oleh konstitusi.
"Begitu pula dengan clear-nya tafsir permufakatan jahat, memberikan kenyamanan dalam komunikasi kelompok, tidak seenaknya penegak atau aparat hukum melakukan kriminalisasi dengan tuduhan 'permufakatan jahat'," kata politikus Partai Golkar Tantowi Yahya kepada VIVA.co.id, Minggu, 11 September 2016.
Tantowi yang merupakan anggota Komisi I DPR itu menuturkan bahwa setelah hasil final MK itu, aturan menjadi lebih jelas. Lembaga atau pihak di luar perangkat hukum dan intelijen negara, dilarang keras melakukan penyadapan dan rekaman ilegal pribadi yang disebar ke publik.
"Urusan pribadi, bisnis dan hal sensitif keluarga/perusahaan yang tidak merugikan orang lain, keamanan publik dan negara bebas dan dilindungi oleh konstitusi," kata dia.
Lebih lanjut, Ketua Bidang Kebudayaan DPP Partai Golkar itu menilai, wajar jika publik berterima kasih kepada Setya Novanto. Alasannya, keputusan MK itu tidak hanya untuk Setya tapi privasi rakyat atau publik menjadi terlindungi secara konstitusioanal.
"Tidak akan ada lagi kegiatan ilegal sadapan, rekaman tersembunyi maupun konko atau guyonan terkait bisnis diartikan sebagai mufakat jahat yang seenaknya diumbar ke publik yang akhirnya hanya menyebabkan kegaduhan, kericuhan, dan instabilitas," tutur Tantowi.
MK memutuskan mengabulkan gugatan Ketua Umum Golkar Setya Novanto terkait frasa 'permufakatan jahat' dan penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.
Menurut MK, penyadapan terhadap seseorang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan ketentuan sesuai UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Putusan ini merupakan buntut dari kasus yang menjerat Novanto. Saat menjadi Ketua DPR, Novanto pernah diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla terkait permintaan saham Freeport.
Pencatutan itu diduga direkam dalam percakapan antara Novanto, Presiden Direktut PT Freeport Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha Riza Chalid. Rekaman pertemuan tersebut diserahkan Maroef pada kejaksaan agung untuk kepentingan penyelidikan dugaan adanya pemufakatan jahat.