MK Kabulkan Gugatan Novanto Terkait Frasa Permufakatan Jahat
- VIVA.co.id/ Fikri Halim
VIVA.co.id – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan gugatan Ketua Umum Golkar Setya Novanto terkait frasa 'permufakatan jahat'.
Frasa tersebut tercantum dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya," kata Ketua Majelis, Arief Hidayat dalam putusannya, Rabu, 7 September 2016.
Atas putusan itu, frasa kini dimaknai 'permufakatan jahat' adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana. Jika tidak dimaknai seperti pengertian tersebut, Majelis berpendapat bahwa frasa tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945. Bahkan, Mahkamah menilai frasa tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tersebut.
Tidak hanya itu, frasa 'tindak pidana korupsi' dalam Pasal 15 Undang-undang Tipikor itu menurut Mahkamah juga menjadi bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Sepanjang tidak dimaknai 'tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14," papar hakim.
Terdapat tiga hakim yang memiliki pendapat berbeda dalam putusan tersebut, yakni Hakim Dewa Gede Palguna, Hakim Suhartoyo dan Hakim Manahan Sitompul.
Seperti diketahui, Setya Novanto mengajukan uji materi terkait Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Pasal 88 KUHP menyatakan:
"Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan".
Sementara, Pasal 15 UU Tipikor menyatakan "Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14".
Setnov ketika menjabat menjadi Ketua DPR pernah terjerat dugaan permufakatan jahat terkait saham PT Freeport atau yang lebih dikenal dengan kasus 'papa minta saham'. Kejaksaan Agung bahkan pernah membuka penyelidikan terkait hal tersebut.
Pada permohonannya, Setnon menilai bahwa pengertian tentang 'pemufakatan jahat' dalam Pasal 88 KUHP yang juga menjadi acuan bagi beberapa undang-undang, termasuk oleh UU Tipikor, tidak jelas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi akibat penegakan hukum yang keliru.
Pengertian pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP, menurut Setnov, sesuai apabila diterapkan terhadap tindak pidana umum. Sebab, jika dipergunakan pula dalam tindak pidana khusus seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu, maka dinilai akan berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan. Sebagaimana diakui oleh Setya Novanto, saat ini dialaminya.
Pada pemberitaan di media massa, Setnov menilai bahwa dia cenderung diberitakan terlibat dalam permufakatan jahat untuk memperpanjang izin divestasi saham PT Freeport Indonesia. Padahal, Setnov berkilah bahwa hal tersebut mustahil dilakukan karena dirinya tidak pada posisi yang memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut.
Dalam kasus Pemohon, Pasal 88 KUHP diterapkan terhadap delik-delik kualitatif, seperti Pasal 3 UU Tipikor yang mencantumkan penyalahgunaan wewenang sebagai unsur delik. Padahal dalam Pasal 3, pembuat deliknya haruslah pejabat yang mempunyai kewenangan tertentu.
Berdasarkan dalil tersebut, Setnov meminta frasa "pemufakatan jahat" dalam pasal 88 KUHP yang kemudian diadopsi oleh pasal 15 UU Tipikor harus dimaknai dan ditafsirkan kembali oleh MK karena ketidakpastian hukum dalam frasa tersebut dapat menjadi cikal bakal kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya sebagaimana yang dialami oleh Pemohon.