Dasar Hukum Pilkada 2017 Dicurigai Cuma untuk Jegal Ahok
- VIVA.co.id/ Fajar Ginanjar Mukti
VIVA.co.id – Pakar hukum tata negara, Refly Harun, memberi istilah Ahok Bill untuk Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Undang-undang itu dia tengarai dijadikan alat untuk menghalangi upaya Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menjadi petahana di Pilkada Jakarta 2017.
"Undang-undang yang dibuat itu cenderung untuk menjegal Ahok (Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama). Saya menyebutnya Ahok Bill," ujar Refly dalam sebuah diskusi di kawasan Jalan Gatot Soebroto, Jakarta Selatan, Minggu, 4 September 2016.
Menurut Refly, yang pernah menjadi staf Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), undang-undang yang menjadi dasar hukum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017 itu merupakan pembaharuan dari UU Nomor 8 Tahun 2015, dasar hukum Pilkada serentak 2015. Pembaharuan, terutama terhadap sejumlah pasal, menurut dia, dengan harapan niat Ahok untuk maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017 terhambat.
Refly berpendapat, Ahok Bill dibuat terkait ketakutan partai-partai politik jika peran mereka dalam sistem demokrasi di Indonesia tergerus. Ahok, pada awal mula menyatakan hendak maju di Pilkada lewat jalur perseorangan.
Relawan pendukungnya, Teman Ahok, dengan cepat mengumpulkan satu juta Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI. "Dengan (Teman Ahok) mengumpulkan satu juta KTP, itu kan sudah menggetarkan partai-partai politik di Senayan," ujarnya.
Refly mengatakan, persyaratan kandidat perseorangan pada saat itu diperberat. Kandidat perseorangan diwajibkan untuk mengumpulkan KTP dengan jumlah lebih banyak dibandingkan sebelumnya.
Pada saat itu, menurut Refly, ketakutan partai politik (parpol) bukan disebabkan kemungkinan pasangan calon yang mereka usung kalah dari Ahok yang maju dari jalur perseorangan. Partai politik, dia melanjutkan, lebih khawatir jika kemenangan Ahok menginspirasi kandidat-kandidat lain untuk memilih jalur perseorangan daripada politik di Pilkada daerah lain. "Bukan mereka takut bersaing, tapi mereka khawatir akan makin mendelegitimasi keberadaan parpol," ujar Refly.
Menurut Refly, upaya menghambat Ahok juga terlihat saat UU Pilkada mengatur verifikasi faktual harus dilakukan. Hal itu supaya syarat pendaftaran kandidat perseorangan dinyatakan sah.
Tak hanya itu. Refly mengatakan, keberadaan ketentuan cuti kampanye kepala daerah petahana yang saat ini ramai diperbincangkan juga bukti adanya hal itu.
Ketentuan tersebut mengatur kandidat petahana, termasuk Ahok, untuk cuti selama masa kampanye. Padahal, dasar hukum Pilkada serentak sebelumnya mengatur cuti hanya dilakukan saat kandidat hanya akan berkampanye.
Dengan adanya ketentuan baru, merujuk juga kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2016 yang mengatur tahapan Pilkada, Ahok harus mengambil waktu untuk kampanye minimal empat bulan. Hal itu mengurangi masa kerjanya yang seharusnya tepat 60 bulan. "Ini Ahok Bill juga," ujar Refly.
(ren)