Fraksi PKB Pertanyakan Sikap Pimpinan DPR soal RUU Tembakau
- VIVA.co.id/ Moh Nadlir
VIVA.co.id – Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding mengaku heran dengan lambannya pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Tembakau. Padahal harga rokok ramai menjadi kontroversi. Menurutnya, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkesan tak memberi perhatian terhadap urgensi Undang Undang (UU) itu.
"Draf RUU Tembakau sebenarnya sudah selesai di Baleg (Badan Legislasi), sudah diharmonisasi, sudah final. Biasanya setelah tahapan ini selesai, draf itu dikirim ke pimpinan DPR. Tapi pimpinan DPR mengembalikan draf itu ke Badan Kajian DPR , ini tidak lazim," ujar Karding dalam keterangan tertulisnya pada Kamis 1 September 2016.
Selain mempertanyakan sikap pimpinan DPR, ia juga mendorong RUU Tembakau agar segera diparipurnakan, disetujui dan disahkan. Sebab RUU tersebut kata dia merupakan pertarungan antara kepentingan nasional dengan agenda pihak asing di industri rokok Indonesia.
"RUU ini berpihak kepada petani, industri dan berbagai kepentingan nasional lainnya. Penolakan terjadi lantaran persaingan bisnis antara rokok kretek dan rokok putih dari Eropa. Mereka membawa wacana kesehatan agar produknya bisa menguasai pasar Indonesia," kata Sekjen PKB itu.
Senada dengan Karding, Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi PKB, Daniel Johan menegaskan, Fraksi PKB mendorong klausul penghapusan impor tembakau dan kepemilikan modal asing dalam industri rokok nasional. Fraksi PKB kata dia akan melakukan komunikasi dengan fraksi lain untuk meloloskan klausul tersebut.
"Keberpihakan PKB terhadap UU ini sangat jelas, kepentingan nasional. Kami akan memasukkan klausul impor dan kepemilikan asing sebesar nol persen. Mudah-mudahan kami mendapat dukungan kawan-kawan," ujar Daniel.
Menurutnya, keberadaan industri dan pertanian tembakau tidak bisa dinafikan mendukung perekonomian nasional. Namun yang perlu dikontrol adalah kepemilikan saham asing di industri rokok.
"Kami tidak bisa memungkiri bahwa cukai rokok berdampak besar terhadap perekonomian. Sekarang (bagaimana) mau melindungi atau membiarkan aset itu dikuasai asing."
(mus)