Peneliti LIPI: Kasus Arcandra Jadi Celah Makzulkan Presiden
- Antara/ Widodo S Jusuf
VIVA.co.id - Peneliti senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, menyarankan pemerintah tidak tergesa-gesa menunjuk lagi Arcandra Tahar sebagai menteri, meski dalam waktu dekat dia sudah berstatus warga negara Indonesia (WNI).Â
Ikrar menyarankan pemerintah legowo menyikapi hal itu dan membiarkan Arcandra melalui masa tenangnya. Arcandra sebaiknya istirahat selama 2,5 tahun atau paling lama 3,5 tahun sambil mempelajari segala permasalahan industri perminyakan di Indonesia.
"Jadi tidak hanya paham mengenai Blok Masela, atau offshore (pengeboran minyak dan gas lepas pantai) dan onshore (pembangunan kilang minyak darat), tapi hingga dia tahu seperti apa problem perminyakan di negeri ini," kata Ikrar dalam diskusi publik di kantor PARA Syndicate, Jakarta, pada Jumat, 19 Agustus 2016.
Ikrar menilai, jika merujuk pernyataan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum pada Kemenkumham, dalam sepekan nanti Arcandra sudah mendapat status kewarganegaan Indonesia. Maka Arcandra tidak perlu langsung kembali ditunjuk sebagai menteri.
Sebab, kata Ikrar, peristiwa Arcandra dicopot dari jabatannya oleh Presiden Joko Widodo sudah menjadi konsumsi partai politik. "Anda tahu yang namanya partai politik seperti apa. Dikhawatirkan malah lebih digoreng (dijadikan komoditas politik) lagi, karena  (pengangkatan menteri) jadi seperti main-main," katanya.
Lagi pula, kata Ikrar, Kementerian ESDM adalah salah satu kementerian paling strategis di kabinet. Tentu banyak elite parpol yang menginginkannya. Bahkan, Ikrar mengkhawatirkan bisa menjadi pintu masuk untuk memakzulkan atau menjatuhkan Presiden.Â
"DPR juga sudah memantau terus pasti siapa pengganti Arcandra sekarang, karena memang tempat (kementerian) ini basah (beruang)," kata Ikrar.
Arcandra ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Menteri ESDM pada 27 Juli 2016. Namun setelah 20 hari menjabat, ia diberhentikan secara hormat karena berkewarganegaraan ganda, yakni Indonesia dan Amerika Serikat.
Edwin Firdaus/Jakarta