Sengketa Pilkada Tiga Daerah Belum Tuntas, DPR Kritik MK
VIVA.co.id – Anggota Komisi II DPR RI, Arteria Dahlan, mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengadili sengketa pilkada di tiga daerah yang tak kunjung tuntas hingga kini. Tiga daerah tersebut yakni Kabupaten Muna, Kabupaten Memberamo, dan Kota Pematangsiantar.
"Kejadian belum terselesaikan tiga pilkada ini tidak semata salah KPU. Mereka kerja tidak benar sehingga Kabupaten Muna dan Kabupaten Memberamo terpaksa dilakukan pemungutan suara ulang. Pilkada Kota Pematangsiantar justru sudah benar tapi tidak lakukan antisipasi dini," kata Arteria dalam keterangan tertulisnya, Selasa 19 Juli 2016.
Ia menjelaskan untuk kabupaten Muna, Mahkamah Konstitusi memerintahkan sampai dua kali pemungutan suara ulang. Sehingga pemungutan suara di kabupaten itu sudah dilakukan tiga kali.
"Itu pun dilakukan dengan dasar asumsi, tidak sesuai fakta, bukti dan surat keterangan palsu yang tidak dimasukkan dalam persidangan, tidak sesuai dengan logika akal sehat. Apalagi sudah 2 kali diulang, pemohon masih saja kalah," kata Arteria.
Lalu untuk Kota Pematangsiantar yang bermasalah karena persoalan ambang batas pasangan calon independen sebenarnya sudah ditangani oleh Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Arteria kecewa karena persoalan ini dibawa ke lembaga peradilan dan diputuskan dengan aneh atau tidak sesuai hukum positif yang ada.
"Kesalahan DPR adalah masih mempercayai MK dan PT TUN terlibat menangani sengketa pilkada. Kami masih memberikan kepercayaan dan ruang bagi mereka untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutus sengketa pilkada, baik sengketa pemilihan maupun sengketa hasil hitung," kata Arteria.
Ia menuding ketiga pilkada ini permasalahannya terletak pada lembaga peradilan, integritas hakim dan mudahnya distorsi kekuasaan, pemegang kapital mengintervensi penegakan hukum. Ia pun meminta pada Komisi Yudisial (KY) dan Ketua Muda Mahkamah Agung bidang pengawasan menurunkan tim untuk menginvestigasi hakim-hakim yang ada di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan.
"Investigasi hakim-hakim yang ada di TUN dan PT TUN Medan. Cari tahu akar permasalahannya seperti apa, kalau perlu non-palukan dulu selama proses, dan pecat saja kalau terbukti mereka jadi sumber petaka demokrasi. MK juga begitu, kasus sengketa pilkada Kabupaten Muna merupakan tragedi demokrasi. Memperlihatkan demokrasi, hukum, sistem hukum, rasa keadilan, logika dan akal sehat dikalahkan oleh kesewenang-wenangan 9 hakim MK dalam memutus," kata Arteria.
Menurutnya sengketa pilkada di tiga daerah ini sudah menguras waktu, tenaga, uang dan pikiran banyak pihak, bahkan merusak hubungan kekerabatan (keluarga, tetangga, pertemanan, kelompok), memicu konflik horizontal yang sulit dipulihkan, mengganggu ketenteraman, stabilitas, roda pemerintahan.
"Lebih parahnya lagi rakyat sudah tidak percaya pada hukum dan sistem hukum serta pemerintah. Karena negara tidak hadir untuk rakyat saat mereka membutuhkan keadilan dan kepastian hukum," kata Arteria.