Tujuh Poin Rencana Revisi UU Terorisme
- VIVA.co.id/Fajar Sodiq
VIVA.co.id – Salah satu anggota Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Arsul Sani, meminta masyarakat ikut mengawal proses perubahan dalam undang-undang itu.
Arsul menilai, usulan revisi UU itu terkesan tiba-tiba karena belum dimasukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016. Walaupun usulan revisi masuk dalam Prolegnas 2014-2019.
"Revisi UU ini inisiatif pemerintah, bukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini terkesan tiba-tiba, pasca teror Thamrin, baru minta DPR masuk ke Prolegnas prioritas 2016, dibahas tahun ini. Ini harus dikawal, ini bukan UU baru, ini revisi, apa saja yang ingin diubah?" ungkap Arsul di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 30 Mei 2016.
Dia menjelaskan, setidaknya ada tujuh materi yang hendak diatur dalam revisi UU nanti, yaitu menyangkut penalisasi, pemberatan sanksi pidana, perluasan pidana, pidana tambahan, dan penambahan kewenangan pada pemerintah.
"Keenam, ini yang paling banyak dikritisi karena bersentuhan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Membuat ketentuan khusus yang menyimpang dari KUHAP, yang terkait dengan upaya paksa, khususnya upaya paksa penangkapan, penahanan," kata dia.
Selain itu, "Ketujuh, introduksi, pengenalan konsep baru, sebagai pasal yang disebut banyak orang pasal Guantanamo. Di mana, kalau penegak hukum itu menduga, diskresi ada pada penegak hukum, polisi, penyidik, dan penuntut menduga seseorang terlibat dalam terorisme, maka orang itu bisa ditempatkan di suatu tempat tertentu dalam waktu 6 bulan," tuturnya.
Untuk itu, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu melanjutkan, saat ini pihaknya tengah mengumpulkan masukan lebih lanjut terkait revisi UU itu.
"Pansus Revisi UU Terorisme sedang kumpulkan masukan, dari ormas Islam dan lainnya. Sepuluh fraksi yang ada dipersilakan bikin draf inisiatif masalah," tuturnya.