Peran Komite Etik Munaslub Golkar Dipertanyakan
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Partai Golkar akan segera melaksanakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Bali pada 15 hingga 17 Mei 2016. Panitia pelaksana juga sudah melakukan verifikasi terhadap delapan kandidat yang akan bersaing memperebutkan kursi ketua umum.
"Ketua Umum Golkar harus dipastikan yang paling sedikit beban moralnya. Harus dipastikan ketua umum Golkar adalah kader terbaik yang punya integritas, kredibilitas, kompetensi dan kapasitas yang cukup mumpuni," kata Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago saat dihubungi, Senin, 9 Mei 2016.
Pangi menjelaskan yang dimaksud paling sedikit beban moralnya adalah kandidat ketua umum yang rekam jejaknya bersih. Oleh karena itu, sudah tepat jika panitia kemudian membentuk Komite Etik.
"Enggak pernah bermasalah. Misalnya soal (skandal) 'Papa Minta Saham' atau pencatutan nama presiden terkait saham Freeport. Setya Novanto punya beban moral cukup berat," ujar Pangi.
Namun keberadaan orang-orang di Komite Etik, menurutnya, justru perlu dipertanyakan dalam hal integritas. Pasalnya, komite tersebut bergeming dengan kabar yang menyebut nama Setya Novanto dan kabar adanya turnamen golf berhadiah mobil mewah bagi para pemilik suara Golkar di daerah.
Padahal panitia munaslub sudah menetapkan 18 syarat untuk menjadi calon ketum Golkar, di antaranya memiliki prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tidak tercela.
"Komite Etik fungsinya antara ada dan tiada. Keberadaannya seperti tiada dirasakan. Harusnya Komite Etik bisa menjaga trayek dan memastikan calon ketua umum Golkar yang maju benar-benar selesai dengan dirinya sendiri. Artinya, dipastikan tidak punya beban moral, bersih dan jujur," kata dia.
Namun tak hanya soal "servis" kepada para pemilik suara, dukungan pemerintah terhadap salah satu calon juga akan memiliki pengaruh besar. Pengajar di UIN Syarif Hidayatullah ini menilai tidak akan mudah menyimpulkan akhir cerita dari Munaslub Golkar mendatang.
"Banyak faktor dan instrumen yang bermain di sana. Selain soal amunisi, faktor dukungan pemerintah juga instrumen politik yang enggak bisa diabaikan. Pemerintah lebih suka memilih siapa," kata Pangi. (ase)