Revisi UU Pemberantasan Terorisme Terlalu Dipaksakan
- VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Para aktivis HAM mengritik sikap pemerintah yang dinilai memaksakan diri untuk melakukan revisi Undang Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembahasan rancangan revisi UU tersebut dianggap tidak menjawab akar masalah terorisme di Indonesia.
Aktivis Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting mengatakan bahwa awal rencana perubahan UU ini hanya sebagai reaksi atas serangan terorisme di Kawasan Sarinah, Thamrin beberapa waktu lalu. Oleh karena itu dasarnya bukanlah soal perspektif hukum.
"Teroris itu dikategorikan sebagai tindak pidana. Kalau kita sepakat terorisme, penanganan harus hukum, tidak boleh di luar hukum. Bahkan beberapa pasal adalah pendekatan perang," ujar Miko Ginting di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Jumat 29 April 2016.
Sementara pegiat hukum dari Institut for Criminal and Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mengatakan bahwa RUU ini juga harus menyoroti sisi Hak Asasi Manusia (HAM) dari korban teroris yang harus mendapatkan kompensasi. Selain itu harus memuat soal rehabilitasi bagi terduga yang ternyata tidak terbukti sebagai pelaku teror. Sayangnya sampai saat ini kompensasi maupun rehabilitasi sulit didapatkan. Â
"Berapa banyak kasus terorisme dibawa ke sidang, kalau enggak mati, enggak bisa dibawa ke sidang. Kalau enggak sidang, kompensasi enggak turun, kalau enggak turun kompensasinya, korbannya gimana," kata Erasmus Napitupulu pada kesempatan yang sama.
Menurutnya, dalam pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak ada satu pasal bahkan satu kata pun yang membicarakan nasib korban.
"Semuanya bicara bagaimana efektif menangkap pelaku, menyimpan pelaku, menghilangkan jejak dan lain-lain," kata Erasmus.
ICJR juga meminta agar pasal hukuman mati dihapus dari draft revisi karena dianggap bukan cara efektif memberikan efek jera.
"Kami sepakat pidana mati tidak menyelesaikan masalah terorisme. Kami menuntut RUU Terorisme, kalaupun disahkan, mencabut pidana mati," katanya lagi.
Laporan: Ikhwan Yanuar