Fadli Zon: Panama Papers Harus Jadi Momentum Pemerintah RI
VIVA.co.id – Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, mengatakan terbongkarnya skandal Panama Papers bisa dilihat sebagai upaya negara anggota G20 untuk menutup defisit fiskal akibat krisis. Hal ini dilakukan dengan mengejar kekayaan warga negaranya di luar negeri.
"Dari sisi pajak, setiap negara memang harus mengoptimalkan penerimaan pajaknya, terutama dari para wajib pajak kelas kakap. Dan di titik ini, pemerintah Indonesia juga seharusnya bisa ikut mengambil keuntungan dari bocornya dokumen itu," katanya di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis 7 April 2016.
Terutama, untuk menghitung kembali potensi penerimaan negara dan menutup celah kebocoran keuangan negara dari regulasi perpajakan. "Jangan hanya wajib pajak kecil-kecil yang dikejar pemerintah," ujar Fadli.
Namun Wakil Ketua Umum partai Gerindra ini mengingatkan, pemerintah harus melakukan verifikasi lebih dulu dan berhati-hati, sebab penyimpanan uang pada perusahaan offshore di negara surga bebas pajak, tidak menjadikan tindakannya melawan hukum.
"Yang harus ditelusuri adalah perusahaan-perusahaan yang didirikan untuk tujuan pencucian uang hasil korupsi, narkoba, atau kejahatan terorganisir lainnya. Ini yang harus diusut oleh pemerintah," tegasnya.
Fadli juga meminta bocornya Panama Papers ini harus dimanfaatkan untuk upaya penegakan hukum, baik di bidang perpajakan, potensi tindak pidana korupsi, atau dana haram kejahatan lainnya. Pemerintah diharapkan menanggapi Panama Papers dengan tindakan yang jelas dan konkrit.
"Sebaiknya segera dibentuk tim kerja khusus menanggapi Panama Papers ini," ungkapnya.
Panama Papers merupakan bocoran dokumen yang mengungkap simpanan rahasia pejabat dan pengusaha di berbagai negara, pada perusahaan hukum berbasis di Panama, Mossack Fonseca.
Menurut International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), yang bermitra dengan media Jerman, Suddeutsche Zeitung, untuk merilis dokumen tersebut. Data di dalamnya melibatkan 200 negara dan kekuasaan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Ada nama 140 politisi dan pejabat publik juga di dalamnya, termasuk 12 penguasa negara, di antaranya Presiden Rusia, Vladimir Putin; Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz bin Abdulrahman Al Saud; dan Perdana Menteri Islandia, Sigmundur David Gunnlaugsson. (ren)