Advokat Cemaskan Tren Kriminalisasi Calon Kepala Daerah
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id – Advokat Pengawal Demokrasi Indonesia (APDI) mengaku prihatin melihat maraknya fenomena pelaporan pidana terhadap calon kepala daerah.
APDI melihat, fenomena itu sebagai upaya kriminalisasi dan pembunuhan karakter para kandidat kepala daerah dalam 101 Pilkada putaran kedua pada 2017.
"Kami cemas mengamati perkembangan Pilkada akhir-akhir ini. Dari 200 kasus Pilkada yang diteliti, ada unsur kriminalisasi calon pasangan yang mau maju di Pilkada," kata Koordinator APDI, Otto Hasibuan di kawasan Menteng, Jakarta, Rabu, 23 Maret 2016.
Otto menjelaskan, tren kriminalisasi ini justru menurunkan kualitas Pilkada di seluruh daerah di Indonesia. Dengan upaya kriminalisasi ini, orang yang berkualitas justru menjadi terhambat untuk maju dalam Pilkada.
"Orang orang baik menjadi tidak bisa maju karena adanya pembunuhan karakter. Hanya orang-orang yang kuat dan mempunyai uang banyak yang bisa maju," ujarnya menambahkan.
Otto mencontohkan salah satu indikasi fenomena pembunuhan karakter dan kriminalisasi telah nampak di DKI Jakarta jelang Pilkada. "Misalnya Ahok dilaporkan kasus (Rumah Sakit) Sumber Waras, aset Pemprov untuk Teman Ahok. Bukan tidak mungkin hal ini juga terjadi pada kandidat lain seperti Yusril, Adhayksa, Sandiaga dan kandidat lain," ungkapnya.
Dia menambahkan fenomena kriminalisasi jelang Pilkada yang terjadi di Jakarta saat ini bukan yang pertama. "Ini pernah terjadi terhadap Risma (Calon Wali Kota) di Surabaya," ujarnya.
Ia berharap pengawasan demokrasi ini bisa dilakukan oleh semua advokat di setiap daerah yang akan melaksanakan Pilkada. "Jangan cari fee terus. Kita punya tanggung jawab mengawal demokrasi. Kita bisa urunan untuk mengawal Pilkada di setiap daerah," ujar dia.
Oto yang juga Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) ini menegaskan APDI bukanlah organisasi formal. "APDI hanya gerakan moral advokat untuk mengawal demokrasi dalam Pilkada."
(mus)