Fadli Zon Tak Ingin Revisi UU Terorisme seperti ISA Malaysia
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon menilai, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus diimplementasikan dengan hati-hati.
Fadli menganggap ,revisi UU ini memiliki kecenderungan seperti Internal Security Act (ISA) di Malaysia dan Singapura yang tidak cocok dengan Indonesia.
"Kalau kemudian nanti ini mengarah pada suatu pendekatan security approach seperti di masa lalu dan bahkan ada kecenderungan mendekati ISA di Malaysia dan Singapura, saya kira ini adalah kemunduran," ujarnya ketika ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 2 Maret 2016.
Politikus Partai Gerindra itu menyoroti poin preemptive action yang dimasukkan dalam revisi yaitu bahwa penegak hukum bisa memangkap pihak yang masih diduga bakal melakukan tindakan terorisme. Hal ini menurut Fadli akan berpotensi pada penyalahgunaan kekuasaan sekaligus rawan pelanggaran HAM.
"Nanti jadi alat tangkap-tangkap, kumpul-kumpul main tangkap aja karena ada indikasi dia sedang merancang tindak terorisme. Ini akan terjadi abuse of power, kecuali seorang itu melakukan tindak terorisme," ujarnya menambahkan.
Model preemptive tersebut juga dilakukan oleh Amerika Serikat pada era George W.Bush dan terbukti rawan melanggar HAM orang lain. Negara-negara maju sekalipun tidak bisa ideal menggunakan model ini.
"Pre-emptive action itu dilakukan oleh George Bush dengan korbankan hak asasi manusia. Seperti banyak orang tidak bersalah di Guantanamo. Saya kira ini nanti membahayakan. Nanti malah akan ada teroris-teroris baru.”
Hal tersebut disampaikan Fadli mengomentari draf revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah dirampungkan oleh pemerintah dan bakal segera dibahas di DPR.
(mus)