Revisi UU Terorisme Masih Minim Perspektif Korban
- VIVA.co.id/Bayu Nugraha
VIVA.co.id – Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinilai belum menjadikan perspektif korban sebagai hal penting. Pasalnya, dalam draf revisi dianggap belum ada peraturan pelaksanaan pemberian kompensasi yang layak bagi para korban terorisme.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo dalam diskusi tentang perubahan UU Pemberantasan Terorisme di Kawasan Cikini, Jakarta.
"ICJR menilai belum ada peraturan pelaksanaan dalam pemberian hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang diberikan kepada setiap korban atau ahli waris akibat tindak pidana terorisme," kata Supriyadi di Jakarta, Selasa, 23 Februari 2016.
Dia mengatakan, banyak korban terorisme yang belum terehabilitasi secara medis dan psikis dengan baik. Masalah administrasi dan birokrasi rumah sakit selama ini menjadi beban biaya para korban. Pemberian santunan dianggap harusnya diatur dengan jelas.
"Bantuan sosial yang menjadi harapan bagi korban juga minim dilakukan. Jumlah dana yang minim dibandingkan kerugian korban dan tidak meratanya pembagian harus diperbaiki pemerintah," ujarnya menambahkan.
Hal yang sama juga diungkapkan Tenaga Ahli Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Rully Novian yang menilai kompensasi yang diberikan pemerintah dalam praktiknya menemukan kendala. Apalagi ganti rugi dan bentuk rehabilitasi hanya diartikan dalam hal kerugian materiil.
"Saat ini ganti rugi bagi korban lebih banyak ditujukan bagi ganti rugi yang bersifat material yakni kerugian yang faktual berdasarkan bukti-bukti yang dapat disediakan korban dan tidak mencakup ganti rugi immaterial misalnya ganti rugi akibat kecacatan tubuh atau pendapatan yang hilang karena sakit," kata Rully.
Dia berharap, perubahan UU Terorisme yang akan dibahas pemerintah dan DPR menambahkan lagi masalah reparasi hak bagi korban terorisme. "Tanpa memberbaiki hal itu, RUU Terorisme hanya murni demi kebutuhan negara melawan terorisme tanpa memikirkan korbannya."
Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme digulirkan pascaledakan Bom Sarinah di Kawasan Thamrin pada 14 Januari 2016 silam. Presiden Joko Widodo saat rapat konsultasi bersama pimpinan lembaga negara sepakat bahwa revisi UU harus dilakukan demi efektivitas penanganan terorisme di Indonesia.
(mus)