Ini Poin-poin Revisi UU Terorisme
- Edit/Biro Pers-Sekretariat Presiden
VIVA.co.id – Senin pekan depan atau 1 Februari 2015, draf revisi Undang-Undang 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Widodo Eka Tjahjana, menerangkan bahwa hingga Kamis malam, draf tersebut masih difinalisasi oleh tim yang terdiri dari sejumlah pihak terkait dan berkompeten. Jumat 29 Januari 2016, revisi draf UU terkait Terorisme tersebut akan diselesaikan.
"Ini kan masih kita poses lagi, finalisasi lagi malam ini. Baru besok lah (selesai). Agendanya seperti itu (Senin diserahkan ke Presiden), kita lihat perkembangannya, karena perdebatannya sangat sengit, menyangkut hal-hal yang sangat substantif," kata Widodo di kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis 28 Januari 2016.
Widodo tidak menyebut secara pasti berapa pasal yang direvisi. Hanya saja berdasarkan pernyataan-pernyataan banyak pihak sebelumnya seperti Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, kurang lebih ada sepuluh pasal yang akan direvisi.
Meski tidak menyebutkan secara detil dan lengkap, Widodo mengungkapkan bahwa soal yang paling banyak diperdebatkan dalam revisi tersebut adalah terkait aturan negara akan mencabut Paspor atau status kewarganeraan seorang Warga Negara Indonesia yang mengikuti kegiatan militer di luar negeri, atau dengan sengaja mendukung kelompok militan atau radikal seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)
"Itu yang tadi soal pencabutan kewarganegaraan dan soal Paspor. UU kewarganegaraan kan memungkinkan pencabutan Paspor oleh negara," ujarnya.
Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 Pasal 23, salah satunya menyebut bahwa WNI kehilangan kewarganeraannya jika yang masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden. Hal itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dengan dicabut status kewarganegaraannya, kata Widodo maka akan otomatis sistem paspornya tidak berlaku. sehingga Warga Negara tersebut tidak akan bisa masuk ke Indonesia.
"Bukan dicekal tapi dia sudah tidak bisa masuk lagi. Untuk indikator bisa dicabut kewarganegaraannya diserahkan ke instansi yang berwenang mencabut itu. UU kewarganegaraan sudah mengatur itu," ujar dia.
Widodo melanjutkan, soal lain yang menjadi pembahasan dalam revisi UU tersebut adalah terkait perdagangan senjata untuk tujuan terorisme.
"Ada juga soal ekstrateritorial, Bukti elektronik atau saksi elektronik. Kalau untuk pendanaan terorisme tidak masuk pembahasan.Targetnya selesai satu, dua, tiga, hari ini," kata dia.
Selain itu, usulan untuk penambahan masa penahanan terduga terorisme menurut Widodo juga menjadi poin penting yang dipertimbangkan. Alasannya dengan waktu penahanan yang sekarang dinilai tidak lagi mendukung untuk membongkar dan mengungkap jaringan terorisme yang ada di tanah air.
"Penambahan waktu penahanan dari 120 hari, akan ditambah 60 hari dan bisa ditambah lagi 60 hari. Karena memang untuk membongkar, ini kan pekerjaan berat. Jadi kalau tidak bisa extraordinary crime jadi kita harus paksa supaya bisa membongkar semuanya sampai bisa ke akar-akarnya," tutur Widodo.
Sedangkan usulan soal kewenangan melakukan penangkapan kepada terduga teroris, menurut Widodo dalam pembahasan draf revisi UU Terorisme justru belum mengarah ke hal tersebut.
"Harapan kami kalau iya, saya kira itu akan sinkroniasi lagi dengan UU lain. KUHAP itu juga harus dipertimbangkan jika memang ke arah kesana. Ini kan tingkatnya masih level UU, jadi ini kan nanti kan butuh Peraturan Pelaksanaan. PP ini nantinya kan kita percepat," kata Widodo.