Profesionalitas Intelijen Negara Dinilai Baru '40 Persen'
- ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
VIVA.co.id - Selama 32 tahun masa Orde Baru, intelijen negara bekerja tidak profesional. Kini, setelah Indonesia memasuki masa reformasi, apakah mereka telah berubah?
Direktur Program Imparsial, Al Araf, menilai kinerja aparat intelijen saat ini masih belum memuaskan. "Masih jauh dari cukup, baru 40 persen profesional. Harus kerja rodi lagi untuk 60 persennya," kata Araf saat berbincang dengan VIVA.co.id, Kamis, 28 Januari 2016.
Araf menuturkan beberapa kasus hitam yang masih terjadi terkait intelijen pada masa reformasi. Pertama, pada sekitar tahun 2002-2003, ada oknum deputi intelijen terlibat dalam percetakan uang palsu. Kedua, kasus pembunuhan aktivis Munir yang hingga kini masih belum tuntas.
Oleh karena itu, Araf berpendapat bahwa Tim Pengawas Intelijen yang baru saja dibentuk oleh Komisi I DPR harus mendorong Badan Intelijen Negara untuk menjadi profesional. Mulai dari soal perekrutan, jumlah personil, kualitas teknologi, kontrol atas penggunaan teknologi tersebut, anggaran dan lain-lain.
"Sekarang baru mengarah ke profesional itu. Belum memiliki arah blue print," kata Araf lagi.
Araf mengatakan, institusi intelijen harus dibangun secara perlahan. Dari yang dulunya mengedepankan represif, menjadi menonjolkan intelijensi atau kecerdasan.
"Karena kerja intelijen kan kerja intelijensi. Misalnya lagi bagaimana keahlian mengolah data, informasi, menjadi suatu yang valid, terukur, menjadi bukti awal bagi presiden dan aktor lainnya mengungkap suatu ancaman," ujar dia. (ren)