MPR Menerima Aspirasi dari Berbagai Kalangan dan Kelompok
VIVA.co.id – Pengurus Pusat Muhamadiyah menyambangi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dipimpin Ketua Umum PP Muhammadiyah Hedar Nashir, mereka diterima Ketua MPR Zulkifli Hasan didampingi para wakil ketua dan pimpinan fraksi di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara IV Komplek Parlemen, Jakarta, Senin 18 Januari 2016.
Dalam pertemuan itu, Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan tiga pokok pemikiran tentang kebangsaan dan ketatanegaraan. Pertama, Muhammadiyah telah menghasilkan dokumen kebangsaan yang diberinama "Indonesia sebagai Negara Pancasila".
Dokumen kebangsaan itu merupakan dokumen resmi sebagai komitmen Muhammadiyah terhadap filosofis bangsa, yaitu Pancasila. "Indonesia punya dasar filosofis yang kuat yaitu Pancasila sebagai dasar perilaku. Karena itu, Indonesia sebagai negara Pancasila. Indonesia bukan sekadar nation state tetapi ada dasar filosofinya," katanya.
Namun, menurut Haedar, pada waktu-waktu tertentu dasar filosofis itu kehilangan perpektifnya sehingga terjadi erosi dan distorsi. "Muhammadiya ingin mengajak kembali kepada dasar filosofis itu. Dasar filosofis itu menjadi dasar bertindak mengurus negeri ini," paparnya.
Kedua, mereposisi lembaga MPR. Sejak 2007, Muhammadiyah sudah melakukan kajian bahwa ada distorsi nilai. "Salah satunya adalah posisi MPR. Sebenarnya poin penting amandemen UUD waktu itu adalah pemilihan presiden secara langsung dan soal HAM. Tetapi kemana-mana sehingga ada yng tercerabut termasuk posisi MPR. Kita ingin penguatan kembali MPR," jelasnya.
Contoh lain, MPR harus menyusun kembali arah bangsa yang dulu dikenal dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). "MPR harus mengeluarkan GBHN. GBHN masih diperlukan. Dua hal itu (penguatan kembali MPR dan GBHN) sangat penting. Kalau tidak, kita tidak punya pijakan filosofis dan kebersamaan," ujar Haedar.
Ketiga, MPR perlu berperan dalam mengatasi berbagai persoalan kebangsaan. Haedar menilai persoalan kebangsaan yng muncul adalah sesuatu yang wajar. "Tinggal diperlukan kenegarawanan dan kebersamaan dalam mengatasi persoalan kebangsaan itu. MPR bisa menjalankan peran moral konstitusional agar tidak ada tarik menarik kepentingan," katanya.
Haedar mencontohkan masalah Freeport. "MPR tidak berbicara soal Freeport, tapi soal mengurus sumber daya alam. MPR bisa menawarkan pikiran-pikiran besar," katanya.
Sementara itu, Ketua MPR Zulkifli Hasan mengungkapkan MPR menerima aspirasi dari berbagai kalangan dan kelompok. Sedikitnya ada tiga aspirasi. Pertama, mereka yang ingin kembali seperti dulu (kembali ke UUD 1945).
"Kedua, aspirasi yang mengatakan keadaan sekarang sudah baik dan bagus sehingga tidak perlu perubahan," katanya.
Ketiga, aspirasi yang menghendaki penyempurnaan. Misalnya, soal menghidupkan kembali GBHN, adanya wakil golongan di parlemen, wakil TNI - Polri.
"Sekarang, untuk melakukan perubahan UUD, MPR sudah membentuk Badan Pengkajian dan Lembaga Pengkajian. Aspirasi masyarakat bisa disampaikan ke Badan Pengkajian dan Lembaga Pengkajian. Badan dan lembaga ini untuk mempercapat proses pengkajian terhadap isu-isu ketatanegaraan. Lembaga Pengkajian bisa menampung dan menuntaskan," katanya.
Dari PP Muhammadiyah hadir dalam pertemuan antara lain Prof Muhajir, Abdul Mufti, Prof Dr Suyatno, Busyro Muqoddas, Dr. Anwar Abbas. Sedangkan dari MPR hadir para wakil ketua yaitu Mahyudin, EE Mangindaan, Hidayat Nurwahid, Oesman Sapta, serta pimpinan fraksi di antaranya Ahmad Basarah (PDIP), Soenmanjaya (PKS), Ali Taher (PAN), Fadholi (Nasdem), Ana Muawanah (PKB).