KontraS: Kebebasan Berpendapat Terancam di Era Jokowi

Kontras Peringati Human Rights Day
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Kebebasan berpendapat justru terancam di bawah rezim penguasa yang digadang-gadang para pengusungnya sebagai pemimpin pembawa perubahan Indonesia. Catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), pembatasan kebebasan berpendapat justru berkembang dari tahun ke tahun di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Koordinator Badan Pekerja KontraS, Haris Azhar, mengatakan tren itu dimulai pada tahun ini. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 228 Tahun 2015 yang membatasi lokasi aksi unjuk rasa. Meski akhirnya direvisi, aparat hukum di lapangan tetap membatasi aksi unjuk rasa tidak boleh dilakukan di tempat tertentu, seperti di depan Istana Negara.

"Aparat hukum tetap bertindak melarang hingga membubarkan aksi unjuk rasa di beberapa titik," ujar Haris dalam konferensi pers yang dilakukan di Kantor KontraS, Senen, Sabtu, 26 Desember 2015.

Haris mencontohkan aksi Kamisan yang rutin dilalukan keluarga korban pelanggaran HAM di depan Istana Negara. Meski hanya diam sambil membuka payung hitam, aksi yang sama sekali tidak berpotensi mengganggu ketertiban itu nyatanya sama sekali dilarang untuk kembali dilakukan mulai tanggal 20 November 2015.

"Itu contoh bagaimana suatu rezim membatasi kebebasan berpendapat," ujar Haris.

Haris mengatakan KontraS yakin tren pembatasan tidak akan berhenti. Dalam rancangan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang beredar, KontraS menemukan adanya ajuan pengenaan sanksi yang sangat tegas kepada pihak yang secara spesifik mencemarkan nama Presiden dan lembaga negara lain.

"Para pengkritik ke depannya akan diberi tindakan yang lebih represif oleh aparat pemerintah," ujar Haris.

Selain itu, Haris mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Contempt of Court atau penghinaan terhadap persidangan juga bisa semakin menekan kebebasan berpendapat. Tidak hanya kepada pihak yang mengomentari hasil dari suatu persidangan, tetapi juga kepada media yang memberitakan jalannya persidangan dengan sudut pandang berita yang dianggap merugikan pihak tertentu.

"Ini mengerikan bagi mereka yang biasa mengkritik atau mengevaluasi persidangan. Kami namakan RUU ini RUU Sarpin (Sarpin Rizaldi, hakim yang mengabulkan permohonan pra-peradilan Wakapolri Budi Gunawan). Dulu Sarpin tidak rela putusannya dikritik, kemudian mempidanakan mereka yang mengomentari putusan. Nantinya cara Sarpin seperti ini malah diperkuat oleh pemerintah melalui undang-undang," ujar Haris.

Haris Azhar Tolak Bergabung di Tim Investigasi Testimoni