Zulkifli Hasan: Kita Butuh Majelis Etika
VIVA.co.id – Ketua MPR Zulkifli Hasan beserta Wakil Ketua Oesman Sapta, Mahyudin dan EE Mangindaan, menerima kunjungan tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung dalam kelompok Punakawan.
Acara tersebut berlangsung di Ruang Delegasi, kompleks MPR DPR dan DPD, Selasa 15 Desember 2015. Pada kesempatan tersebut rombongan Punakawan dipimpin pengusaha yang juga budayawan Jaya Suprana. Ikut serta dalam pertemuan tersebut, Frans Magniz Suseno, Prof. Emil Salim serta Prof. Mahfud MD.
Pada kesempatan tersebut tokoh-tokoh kelompok punakawan menyampaikan berbagai kekhawatirannya terkait kondisi sosial politik Indonesia. Mulai dari persoalan kegaduhan di DPR yang melibatkan nama Setya Novanto, hingga kritik terhadap pelaksanaan Sosialisasi Empat Pilar MPR. Prof. Emill Salim misalnya, ia mengatakan sila-sila dalam Pancasila kini tengah diuji.
Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa sedang kata Emil Salim dihadapkan pada kenyataan bahwa Indonesia dianggap sebagai negara dengan tingkat toleransi sangat rendah. Dan memiliki potensi konflik yang sangat tinggi.
"Tingginya jumlah pengangguran dan minimnya penghasilan menjadi pemicu tingginya angka pencurian dan kebohongan, padahal itu tidak sesuai dengan sila kedua Pancasila", kata Emil Salim.
Sila ketiga menurut Emil Salim juga tidak kalah memprihatinkan. Karena provinsi-provinsi yang selama ini dikenal sebagai wilayah yang kaya namun rakyatnya malah hidup dalam kemiskinan. Sementara pulau Jawa Bali dan Sumatera malah menguasai lebih dari 80 persen potensi ekonomi Indonesia.
Sementara Frans Magniz Suseno menilai gaduh di DPR membuat masyarakat semakin tak percaya pada para wakilnya. Kondisi ini diperparah dengan sikap anggota DPR yang saling membela koleganya, bukan meminta mereka untuk mundur dari anggota DPR.
Menanggapi berbagai masukan itu Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan, reformasi pada 1998 telah melahirkan negara Indonesia baru. Yaitu, negara Indonesia yang benar-benar berbeda dibanding sebelumnya. Dalam negara Indonesia yang baru, itu terdapat plus minusnya sendiri.
"Kini setiap warga negara bisa mewujudkan cita-citanya, termasuk kesempatan warga Tionghoa menjadi kepala daerah. Namun, pada saat yang sama biaya demokrasi kita menjadi sangat tinggi, karena setiap anggota masyarakat bisa menentukan pilihannya", kata Zulkifli.
Menyangkut gaduh pada sidang MKD DPR, Zulkifli berpendapat, sudah waktunya Indonesia berfikir untuk memiliki majelis etik. Majelis itu bisa menyidangkan semua kasus etika yang terjadi di seluruh lembaga negara. Dan menjadi majelis etik disemua lembaga negara. Wacana seperti itu, kata Zulkifli menjadi wajar karena Indonesia juga sudah sejak lama memiliki peradilan hukum.