DPD Minta Dana Otsus Dikeluarkan dari Kebijakan Efisiensi Anggaran
- Istimewa
Jakarta, VIVA - Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025 berdampak serius pada pengurangan APBD tahun anggaran 2025.
Anggota DPD RI, Filep Wamafma menyoroti Anggaran Transfer ke Daerah (TKD) tahun 2025 yang dipotong sebesar Rp 50,59 triliun. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Rincian Alokasi Transfer ke Daerah Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2025, dalam rangka efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD tahun anggaran 2025.
“Keputusan Menkeu (KMK) yang menetapkan 6 item dana TKD yang dipotong antara lain kurang bayar dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus fisik (DAK Fisik), dana otonomi khusus (Otsus), dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dana desa,” kata Filep melalui keterangannya pada Kamis, 27 Februari 2025.
Anggota DPD RI asal Papua Barat Filep Wamafma
- Istimewa
Berdasarkan data yang disampaikan, dana alokasi umum (DAU) pagu awalnya Rp446,63 triliun dipotong menjadi Rp430,95 triliun. Sedangkan, dana alokasi khusus fisik (DAK Fisik) dipotong Rp18,3 triliun dari pagu Rp36,95 triliun. Selanjutnya, dana Otsus dipotong Rp509,45 miliar dari pagu Rp14,51 triliun.
Khusus untuk Papua, kata Filep, dana Otsus Papua tersisa Rp 9,69 triliun dari pagu Rp10,04 triliun. Sementara, dana Otsus Aceh dari Rp4,46 triliun dipotong menjadi Rp4,3 triliun. Untuk kurang bayar dana bagi hasil dari pagu Rp27,80 triliun dipotong Rp13,90 triliun dari total pagu Rp27,80 triliun. Dana Keistimewaan DIY dari Rp1,2 triliun dipotong Rp200 miliar. Lalu, dana desa dari pagu Rp71 triliun dipotong Rp2 triliun.
“Semua pemotongan ini pasti akan sangat berdampak pada pembangunan, bukan sekadar infrastruktur, melainkan pendidikan, kesehatan, dan bidang-bidang krusial lainnya,” ujar Senator asal Papua ini.
Dari perspektif Otsus, kata dia, semua tahu bahwa dana Otsus sangat bernilai bagi pembangunan masyarakat, dan dana bagi hasil (DBH). Menurut dia, dana Otsus dan DBH itu merupakan hak yang harus dikembalikan kepada masyarakat.
“Dengan mengatakan hak, berarti dana tersebut memang seharusnya tidak boleh dipotong. Memang benar bahwa KMK 29/2025 membagi alokasi keenam item transfer ke daerah tersebut menjadi 2 bagian yaitu reguler dan cadangan, di mana Pemerintah Daerah (Pemda) hanya bisa memakai dana reguler, sementara yang dipotong adalah dana cadangan. Akan tetapi, ini mengindikasikan ketidakadilan karena Pemerintah mengambil bagian yang bukan haknya,” jelas dia.
Tentu saja, Filep mengatakan pemotongan dana tersebut berdampak pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, terutama sektor pendidikan dan kesehatan. Kata dia, kalau dilihat dari konteks Papua saja terkait dana Otsus, sesuai Pasal 34 Ayat (3) huruf e Undang-Undang Otsus bahwa ditujukan untuk pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, selain infrastruktur dan penguatan masyarakat adat.
“Sedangkan DBH Migas, sesuai Pasal 36 Ayat (2) UU Otsus, diperuntukkan bagi belanja pendidikan, belanja kesehatan dan perbaikan gizi, belanja infrastruktur, dan belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat. Jika dana tersebut dipotong, dampaknya pasti sangat besar bagi implementasi PP 106/2021, yang memerintahkan adanya pendidikan gratis bagi OAP mulai dari PAUD sampai Perguruan Tinggi,” kata Filep.
Menurut dia, bagaimana dengan pendidikan berbasis asrama, beasiswa bagi siswa dan guru, kesejahteraan guru, pemenuhan kebutuhan guru di daerah. Selain itu, lanjut dia, bagaimana juga bidang kesehatan untuk kesejahteraan tenaga kesehatan, keamanan dan keselamatan mereka, pembiayaan pelaksanaan kesehatan bergerak, pelayanan kesehatan berbasis masyarakat di daerah terpencil.
“Lalu pemenuhan pemerataan fasilitas kesehatan, penguatan kemampuan pelayanan kesehatan dasar, penyediaan tenaga kesehatan berkualitas/ahli, beasiswa bagi tenaga kesehatan OAP, bantuan penyelenggaraan pendidikan untuk tenaga kesehatan, dan masih banyak lagi lainnya? Bagimana nasibnya,” jelas Filep lagi.
Maka dari itu, Filep beranggapan bahwa efisiensi anggaran melalui pemotongan dana Otsus telah menciderai hak dasar masyarakat. Sebab, kata dia, dana Otsus merupakan hak yang tidak dapat diambil dengan alasan efisiensi. Dengan demikian, ia meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025 dengan mengeluarkan dana Otsus dari kewajiban efisiensi.
Dalam hari-hari akhir ini melihat fakta maraknya korupsi sistematik dengan nilai yang sangat fantastis, Filep meminta untuk mempercepat pembahasan terkait regulasi perampasan aset. Kata dia, masyarakat tidak boleh mengalami penderitaan karena ulah koruptor, terutama di sektor migas.
“Ketiga, memikirkan ulang dan menyesuaikan kembali anggaran makan bergizi gratis, untuk dialokasikan pada investasi pendidikan dan kesehatan jangka panjang, baik dalam hal pendidikan gratis, kesehatan gratis, beasiswa, kesejahteraan guru dan tenaga kesehatan. Keempat, saya mendorong ASN, para pejabat publik, untuk menghindari pemborosan anggaran terkait kegiatan-kegiatan seremonial yang tidak urgen. Saya kira ini akan menjadi teladan yang baik bagi masyarakat,” pungkasnya.