Presidential Threshold Akhirnya Dihapus, Gus Yahya: Bukan Domain Kami, NU Kerjanya sebagai Pencoblos
- TVNU
Jakarta, VIVA - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya menanggapi soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen.Â
Dia menegaskan, PBNU tidak memiliki domain untuk bicara banyak soal putusan tersebut. Sebab, posisi NU hanya sebagai msyarakat yang punya hak memilih.Â
"Buat kami, kami tidak menganggap ini sebagai domain dari NU karena demokrasi itu pondasinya partai-partai politik. Domain dari partai politik," kata Gus Yahya kepada wartawan, dikutip pada Sabtu, 4 Januari 2025.
"Posisi NU dan warganya dalam hal ini kerjanya sebagai pencoblos. Kalau dikasih kesempatan nyoblos ya kita nyoblos," tuturnya.
Gus Yahya menuturkan putusan penghapusan presidential threshold sudah menjadi perdebatan yang cukup lama. Tentunya, dia menilai MK memiliki nalar konstitusional sebelum memutuskan putusan tersebut.
"Pasti MK dalam membuat keputusan ini punya nalar konstitusionalnya sendiri, apa yang menurut MK lebih konstitusional," jelasnya.
Di sisi lain, dia menyebut aktor politik atau pimpinan parpol mempunyai visi tentang konstruksi politik di masa depan agar ada keseimbangan antara tuntutan demokratisasi dan efisiensi manajemen politik nasional.
"Kita tentu tidak hanya berpikir pokoknya asal demokrasi dengan mengorbankan katakanlah sistem politik yang tidak efisien gitu ya, tentu tidak," lanjut Gus Yahya.Â
"Tapi juga harus ada pertimbangan tentang hal itu. Saya kira ini jadi gagasan dari pemimpin politik," jelas Gus Yahya.
Sebelumnya, MK memutuskan menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Putusan itu dibacakan Ketua MK, Suhartoyo dalam perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Suhartoyo.
MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," katanya.