Presidential Threshold Selama Ini Mengeksklusi Kandidat Potensial, Menurut Pakar Hukum

Logo parpol peserta Pemilu 2024. (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • Dok. VIVA

Surabaya, VIVA - Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana SH.,MH., mengemukakan keputusan Mahkamah Konstitusi menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagai langkah penting untuk membuka ruang politik yang lebih inklusif bagi calon pemimpin bangsa.

DPR Khawatirkan Jumlah Capres Terlalu Banyak karena MK Hapus Presidential Threshold

Satria, di Surabaya, Jumat, 3 Januari 2025, mengatakan dihapusnya presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tersebut merupakan angin segar bagi demokrasi Indonesia.

"Ambang batas 20 persen sebelumnya mengeksklusi ruang politik bagi kandidat potensial. Akibatnya, calon presiden sering kali muncul atas kehendak partai politik, bukan murni atas keinginan masyarakat," kata Dekan Fakultas Hukum UM Surabaya tersebut.

MK Tolak Gugatan TOEFL Dihapus Jadi Syarat Lamar Pekerjaan dan Tes CPNS

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia / MKRI

Photo :
  • vivanews/Andry Daud

Dengan penghapusan aturan ini, Satria berharap ruang bagi calon presiden akan makin luas. Keputusan MK ini juga menunjukkan bahwa lembaga tersebut makin berpihak pada kepentingan publik dan memperkuat supremasi hukum di Indonesia.

MK Tolak Gugatan Hapus Kolom Beragama di Kartu Keluarga-KTP

Namun, ia juga mengingatkan adanya tantangan ke depan, salah satunya adalah potensi meningkatnya polarisasi politik mengingat setiap partai kini memiliki peluang mencalonkan presiden.

"Demokrasi kita masih dalam tahap pendewasaan. Berbeda dengan sistem di Amerika Serikat yang memiliki dua partai utama; sistem multipartai kita memberikan peluang besar untuk mencalonkan presiden. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri," ujarnya.

Satria menekankan pentingnya memastikan bahwa proses pencalonan presiden benar-benar mencerminkan kehendak masyarakat, baik melalui konvensi partai politik maupun mekanisme lain yang sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Ilustrasi pemungutan suara saat pemilu.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

"Harapannya, keputusan MK ini bisa diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Pemilu yang lebih mendukung inklusivitas sehingga pemilu mendatang tidak hanya didominasi oleh elit politik tertentu, tetapi juga melibatkan masyarakat secara luas," ucapnya.

Selain itu, ia mengatakan keputusan MK ini menjadi momentum untuk memperkuat demokrasi Indonesia, meski masih membutuhkan pengawasan dan penerapan yang konsisten pada masa mendatang.

Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD RI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik. (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya