Pengamat Anggap Baik Putusan MK Hapus PT 20 Persen tapi Capres Tak Akan Lebih Banyak, Kenapa?
- vivanews/Andry Daud
Jakarta, VIVA - Analis komunikasi politik Hendri Satrio menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu inkonstitusional.
Menurut Hendri Satrio, keputusan MK menghapus PT 20 persen membuka kesempatan partai politik untuk bisa mengusung kader terbaik untuk maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
“Putusan MK menghapus presidential threshold 20 persen itu bagus, jadi partai politik mana pun bisa mengusulkan kader terbaik untuk maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden,” kata Hendri Satrio dalam keterangannya, Jumat, 3 Januari 2025.
Namun, menurut dia, putusan tersebut tak serta merta membuat masyarakat melihat banyak calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu selanjutnya yang terdekat akan dilaksanakan pada tahun 2029.
Sebab, seorang calon presiden dan calon wakil presiden harus memiliki investasi elektoral yang harus ditabung sejak lama.
“Apakah kita akan memiliki 30 atau 10 calon presiden? Menurut saya tidak. Kenapa? Karena calon presiden itu harus punya investasi elektoral, dan tidak semua tokoh di partai politik memiliki tabungan elektoral itu. Artinya, dia harus cukup dikenal secara popularitas,” ungkapnya.
Di sisi lain, Hendri Satrio mengingatkan, biaya untuk maju Pilpres tidaklah murah sehingga sangat mungkin hanya orang-orang tertentu yang bisa maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.
“Turun ke masyarakat tidak murah, sehingga sangat mungkin hanya orang-orang yang memang mumpuni saja yang akan mendapat dukungan dari masyarakat untuk menjadi calon presiden,” katanya.
“Jadi, dukungannya bukan hanya tentang dukungan finansial, tetapi dia juga harus memiliki tabungan atau investasi elektoral yang tadi saya katakan,” ujarnya.
MK memutuskan menghapus persyaratan ambang batas presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hal tersebut disampaikan Ketua MK Suhartoyo dalam pembacaan putusan MK atas perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 2 Januari 2024.
MK juga menyatakan norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.