MK Hapus Ambang Batas Presiden 20 Persen, DPR: Babak Baru Demokrasi Indonesia
- VIVA.co.id/Sherly (Tangerang)
Jakarta, VIVA - Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyebut putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan Presiden atau Presidential Threshold (PT) 20 persen, sebagai babak baru bagi perjalanan demokrasi bangsa. Dia pun menyambut baik putusan tersebut.
Dengan putusan MK tersebut, maka partai politik bisa mencalonkan orang untuk menjadi calon presiden atau capres di pemilu presiden, pilpres. Tidak seperti pilpres-pilpres sebelumnya yang mengharuskan partai politik dan atau gabunga partai, memenuhi jumlah suara 20 persen itu.
“Saya kira ini babak baru bagi demokrasi konstitusional kita, di mana peluang mencalonkan Presiden dan Wapres bisa lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka," kata Rifqi ditanyai awak media, Kamis, 2 Januari 2025.
Karena itu, politikus Nasdem tersebut memastikan pihaknya bakal menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan Presiden 20 persen itu.
"Tentu pemerintah dan DPR akan menindaklanjutinya dalam pembentukan norma baru di Undang-Undang terkait dengan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden," kata Rifqi.
Dengan ketentuan tersebut, sehingga bisa diartikan pencalonan presiden dan wakil presiden bisa lebih terbuka terhadap semua partai politik.
"Apapun itu, Mahkamah Konstitusi keputusannya adalah final and binding. Karena itu kita menghormati dan kita berkewajiban menindaklanjutinya," imbuhnya.
Sebelumnya, MK memutuskan menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hal ini disampaikan Ketua MK, Suhartoyo, saat membaca putusan MK atas perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 2 Januari 2025.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Suhartoyo membaca amar putusan uji materi Pasal 222 tersebut.
MK, lanjut Suhartoyo, menyatakan norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," ujarnya.
Sementara hakim MK Saldi Isra mengatakan, merujuk pada pertimbangan hukum MK, ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut sesuai dengan dalil dari para pemohon.
"Dengan demikian dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata Saldi Isra.
Berdasarkan situs MK, sebanyak empat perkara terkait ambang batas pencalonan presiden yang diputus hakim MK hari ini. Keempat perkara tersebut teregistrasi dalam perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia.
Kemudian perkara 101/PUU-XXI/2024 diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT). Selanjutnya, perkara 87/PUU-XXII/2024 diajukan Dian Fitri Sabrina, Muhammad, Muchtadin Alatas dan Muhammad Saad.
Sedangkan, perkara 129/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Gugum Ridho Putra.
Dalam gugatannya tersebut, para pemohon mengajukan pengujian pasal 222 UU Pemilu. Pada pasal tersebut mengatur tentang presidential threshold atau ambang batas minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen dari suara nasional.