Pilpres 2024 Dinilai Mulai Geser Demokrasi RI Jadi Otokrasi Elektoral yang Mengkhawatirkan
- IST
Jakarta, VIVA - Pemilu Presiden tahun 2024 dinilai sebagai fenomena yang mengkhawatirkan bagi demokrasi Indonesia karena penyelenggaraan kontestasi politik itu mulai menggeser demokrasi Indonesia menuju otokrasi elektoral.
Gejala kemunduran demokrasi tersebut diuraikan dalam buku Selamat Datang Otokrasi: Pemilu, Kekuasaan, dan Kemunduran Demokrasi yang merupakan hasil riset Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) dan diluncurkan di Jakarta, Jumat, 20 Desember 2024.
Dikutip dari siaran pers peluncuran buku tersebut, disebutkan bahwa secara global, laporan dari lembaga-lembaga seperti Freedom House, V-Dem, EIU, dan International IDEA menunjukkan adanya gelombang otokratisasi yang melanda dunia, termasuk Indonesia.
Namun, di tengah tren global tersebut, skor demokrasi Indonesia versi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) justru menunjukkan anomali yang tidak sejalan dengan temuan lembaga-lembaga pengukur demokrasi internasional.
Dalam konteks Indonesia, pemilu menjadi indikator utama untuk memahami dinamika demokrasi. Buku itu menyoroti perjalanan demokrasi Indonesia sejak era reformasi 1998 hingga 2024, menggambarkan sistem demokrasi yang awalnya menjanjikan perlahan-lahan menunjukkan tanda-tanda regresi, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Penilaian negatif
Penulis, dalam buku itu, mengidentifikasi gejala-gejala otokratisasi yang makin terakselerasi, mulai dari politisasi birokrasi, penyalahgunaan sumber daya negara, hingga lemahnya independensi penyelenggara pemilu. Salah satu fokus utama adalah analisis terhadap Pilpres 2024, sejauh mana pemilu tersebut berlangsung bebas dan adil, serta bagaimana prosesnya mencerminkan penurunan kualitas demokrasi.
"Hasil expert assessment Pilpres 2024 yang dilakukan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) memberikan gambaran yang kompleks dan mengkhawatirkan mengenai kualitas demokrasi di Indonesia.
"Dari tujuh variabel utama yang dievaluasi, lima di antaranya—kesetaraan kompetisi (3,04), proses kandidasi (3,63), penghitungan suara (4,36), otonomi dan kapasitas penyelenggara (4,48), serta kebebasan memilih (bebas dari kekerasan/intimidasi dan mobilisasi) (5,75)—mendapatkan penilaian negatif. Hanya dua variabel, yaitu kebebasan sipil (5,75) dan hak memilih (6,19), yang menunjukkan skor yang relatif positif.
"Data ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami tantangan serius, mengindikasikan pergeseran menuju karakteristik rezim hibrida, di mana elemen-elemen otoritarian dan demokratis bercampur dalam satu sistem politik."
Ancaman serius bagi demokrasi substantif
Menurut Aqidatul Izza Zain, peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi sekaligus ketua tim penulis buku tersebut, pemilu di Indonesia tidak lagi berfungsi sebagai arena kompetisi yang setara tetapi justru menjadi alat untuk memperkokoh kekuasaan.
"Dalam konteks Pilpres 2024, proses kandidasi yang dipolitisasi dan ketidaksetaraan kompetisi menjadi bukti nyata distorsi prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini diperparah dengan adanya politisasi birokrasi, mobilisasi aparatur negara, penyalahgunaan sumber daya negara untuk mendukung kandidat tertentu, hingga lemahnya independensi penyelenggara pemilu," kata Aqidatul.
"Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia mulai memasuki transisi menuju otokrasi elektoral, di mana pemilu yang seharusnya menjadi instrumen utama demokrasi justru digunakan untuk mengonsolidasikan kekuasaan aktor-aktor dominan. Pilpres 2024, dengan segala keterbatasannya, menjadi titik awal yang mencerminkan konsolidasi otokrasi di Indonesia, menandai ancaman serius bagi demokrasi substantif," dia menekankan.
Mendorong reformasi politik dan elektoral
Berdasarkan banyak temuan itu, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, mendorong agar dilakukan reformasi politik dan elektoral agar demokrasi yang telah berjalan sejauh ini tidak menjadi mundur dan justru mengarah ke otokrasi. Sindikasi merekomendasikan lima hal, di antaranya:
Pertama, revitalisasi indikator demokrasi dan rekonstruksi hukum melalui revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
Revitalisasi demokrasi dapat dilakukan melalui penyusunan indikator demokrasi yang lebih relevan dan substantif, yang tidak hanya mengukur aspek prosedural tetapi juga menekankan inklusivitas, keterwakilan, dan aksesibilitas politik. Sedangkan rekonstruksi hukum dapat dilakukan melalui revisi UU Pemilu dan Pilkada. Beberapa isu yang dapat didorong adalah jumlah kursi dan alokasi kursi DPR; peninjauan sistem proporsional daftar terbuka; penyesuaian ambang batas pencalonan; dan model keserentakan pemilu yang memisahkan pemilu nasional dan lokal.
Kedua, menghadirkan mekanisme people primary.
Mencari alternatif calon pemimpin nasional. Sistem ini memungkinkan masyarakat untuk terlibat lebih langsung dalam proses pemilihan calon pemimpin nasional. People primary tidak hanya dapat mendorong inklusivitas dalam pencalonan pemimpin nasional, tetapi juga mengurangi dominasi partai politik besar yang sering kali memonopoli proses pencalonan.
Ketiga, mendorong proses seleksi penyelenggara pemilu memenuhi prinsip transparansi, meritokrasi, dan independensi.
Keempat, pemilihan anggota KPU dan Bawaslu harus didasarkan pada integritas dan kompetensi yang jelas, bukan pada afiliasi politik tertentu. Proses seleksi harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik untuk memastikan bahwa penyelenggara pemilu memiliki kapasitas untuk menjalankan tugasnya tanpa intervensi politik.
Kelima, penguatan institusi partai politik melalui revisi UU Partai Politik.
Salah satu aspek krusial yang perlu diubah adalah sistem pemilihan internal partai yang harus lebih demokratis, transparan, dan inklusif; penguatan transparansi dan akuntabilitas partai; penguatan peran partai politik dalam pendidikan politik; mendorong partisipasi partai kecil dan calon independen; evaluasi kinerja ketua umum secara periodik; dan regenerasi kepemimpinan dalam partai politik.