PDIP: Pilkada Langsung Beri Pendidikan Politik kepada Masyarakat

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA - Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), I Wayan Sudirta menyoroti soal usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari model langsung menjadi tidak langsung, yakni melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tentu saja, Wayan mengaku heran dengan adanya usulan ini hanya karena alasan biaya politik tinggi dalam Pilkada langsung.

Menurut dia, alasan utama yang diangkat adalah tingginya biaya politik dalam Pilkada langsung, yang sering disebut-sebut sebagai beban berat bagi kandidat dan membuka peluang bagi praktik politik uang. Akan tetapi, lanjut Wayan, klaim tersebut tidak didukung oleh data yang konsisten.

“Dalam banyak kasus, angka yang dilaporkan terkait biaya politik sering kali berbeda jauh dari praktik informal di lapangan, sehingga keabsahan argumen ini patut dipertanyakan,” kata Wayan melalui keterangannya pada Kamis, 19 Desember 2024.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta

Photo :
  • Istimewa

Sebenarnya, Wayan menyebut perdebatan mengenai apakah Pilkada harus dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung, ini merupakan perdebatan klasik yang sudah dimenangkan secara telak oleh mereka yang memilih Pilkada langsung. 

Sebab, kata dia, 32 tahun lamanya masyarakat Indonesia merasakan bagaimana dampak buruk dari pemilihan kepala daerah, bahkan Presiden secara tidak langsung, dan akhirnya memang disimpulkan bersama-sama bahwa sistem ini harus diganti. Akhirnya, reformasi berjalan demi memunculkan kembali semangat dan perjuangan untuk demokrasi dan kedaulatan rakyat.

“Oleh sebab itu, cukup mengherankan bila kemudian muncul usulan untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah ke rezim aturan lama, hanya karena alasan biaya politik yang terlalu mahal,” ujar Anggota Komisi III DPR RI ini.

Padahal, Wayan mengatakan semua mengetahui bahwa kecenderungan pemilih dalam sistem demokrasi sama dengan kecenderungan pasar dalam sistem kapitalisme, bisa diciptakan dan diarahkan. Semua tergantung pada elit politik. Maka ketika saat ini kecenderungan pemilih menjadi “materialistis” dan berbiaya tinggi, semua itu diciptakan sendiri oleh para para elit. 

“Jadi jangan menyalahkan rakyat, bahkan sampai merenggut hak dan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri sebagai alasan untuk “membeli” hak dan kedaulatan rakyat tersebut,” jelas dia.

Wayan kembali mengingatkan, bahwa Pilkada langsung adalah manifestasi kedaulatan rakyat yang dijamin oleh UUD NRI 1945. Menurut dia, amandemen terhadap Konstitusi dibuat sedemikian rupa oleh para tokoh bangsa untuk mewujudkan kehidupan demokrasi yang berdasar pada hukum bukan pada kekuasaan.

Sebagai pilar demokrasi, sistem ini memberikan hak kepada rakyat untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung. Hak ini tidak hanya memperkuat partisipasi politik masyarakat, tetapi juga menciptakan legitimasi yang kuat bagi kepala daerah terpilih. Selain itu, Pilkada langsung juga memiliki keunggulan penting dalam membuka ruang meritokrasi. 

“Sistem ini memungkinkan kandidat yang memiliki kapasitas, integritas, dan visi terbaik untuk bersaing tanpa terlalu bergantung pada dukungan elite politik. Dengan kata lain, Pilkada langsung menciptakan peluang bagi tokoh-tokoh lokal yang potensial untuk tampil dan memimpin daerahnya, walaupun dapat juga lahir dari sistem kaderisasi partai politik,” kata Wayan.

Menurut dia, tidak sedikit kepala daerah yang lahir dari sistem Pilkada yang bebas ini berhasil membawa perubahan signifikan bagi wilayahnya, mulai dari perbaikan tata kelola pemerintahan hingga peningkatan kualitas pelayanan publik. Kata dia, pemimpin yang memperoleh mandat langsung dari rakyat memiliki hubungan lebih erat dan akuntabel dengan masyarakat, sehingga dapat menjalankan pemerintahan lebih responsif.

“Selain itu, legitimasi yang berasal langsung dari rakyat juga menjadi landasan yang kokoh bagi stabilitas pemerintahan daerah,” ucap Legislator asal Bali ini.

Selanjutnya, Wayan mengatakan Pilkada langsung adalah kontribusinya terhadap pendidikan politik masyarakat. Proses pemilihan yang melibatkan masyarakat secara langsung memberikan ruang bagi warga negara untuk memahami lebih dalam tentang pentingnya demokrasi dan hak politik mereka. 

“Keterlibatan aktif masyarakat dalam memilih pemimpin juga meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab politik, sehingga memperkuat fondasi demokrasi di tingkat lokal dan nasional. Masyarakat dapat memilih langsung kepala daerah yang merupakan manifestasi dari sistem desentralisasi atau otonomi daerah, yang dalam prakteknya akan sangat berkaitan atau bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat di wilayah tersebut,” ungkapnya.

Sebaliknya, kata Wayan, Pilkada tidak langsung melalui DPRD menimbulkan berbagai risiko yang tidak dapat diabaikan. Salah satu risiko utama adalah meningkatnya potensi praktik politik uang. Dalam sistem ini, seorang kandidat hanya perlu memengaruhi sejumlah kecil Anggota DPRD yang merupakan perwakilan mayoritas untuk memenangkan pemilihan, sehingga justru membuka peluang lebih besar bagi praktik transaksi politik. 

“Transaksi semacam ini tidak hanya memperburuk citra demokrasi, tetapi juga berisiko menimbulkan korupsi struktural di tingkat lokal,” katanya.

Selain itu, Wayan menegaskan bahwa sistem Pilkada tidak langsung juga memperbesar pengaruh oligarki lokal. Dengan mekanisme pemilihan yang terbatas di kalangan elite DPRD, kepala daerah terpilih cenderung lebih berorientasi pada kepentingan kelompok kecil tersebut dibandingkan kepentingan rakyat secara luas, atau tersandera dengan kepentingan politik tertentu. 

“Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat secara riil. Bahkan, dalam jangka panjang, sistem ini berpotensi melemahkan prinsip demokrasi dan memperbesar kesenjangan antara pemerintah daerah dengan warganya,” tegas Wayan.

Kemudian, lanjut Wayan, persoalan legitimasi juga menjadi tantangan utama dalam Pilkada tidak langsung. Pemimpin yang dipilih melalui DPRD cenderung memiliki legitimasi yang lebih rendah dibandingkan mereka yang terpilih langsung oleh rakyat. “Hal ini dapat memengaruhi stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan daerah,” katanya.

Wayan menambahkan bahwa dalam konteks otonomi daerah, kepala daerah juga berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Jika legitimasi kepala daerah diragukan, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah berisiko terganggu, yang pada akhirnya dapat memengaruhi stabilitas nasional secara keseluruhan.

Kasus Harun Masiku, Yasonna Laoly Ngaku Dicecar KPK soal Permintaan Fatwa ke MA

“Pilkada langsung memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan kekuasaan di tingkat lokal. Sistem ini memungkinkan adanya kompetisi yang sehat dan transparan, sehingga memperkuat kontrol terhadap kekuasaan. Sebaliknya, Pilkada tidak langsung berpotensi menciptakan konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elite politik, yang justru melemahkan sistem checks and balances,” jelas Wayan lagi.

Jadi, Wayan berpandangan mengembalikan sistem Pilkada menjadi tidak langsung melalui DPRD adalah langkah mundur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kebijakan ini tidak hanya mengancam meritokrasi, tetapi juga membuka peluang lebih besar bagi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sistem Pilkada langsung, meskipun memiliki berbagai tantangan, tetap menjadi pilar penting dalam menjaga kedaulatan rakyat.

Yasonna Laoly Rampung Diperiksa KPK di Kasus Harun Masiku: Kapasitas Saya sebagai Ketua DPP

“Konflik yang muncul selama Pilkada sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh lemahnya regulasi, kurangnya pendidikan politik, serta rendahnya integritas lembaga penyelenggara pemilu sebagaimana data yang ada selama ini. Dengan memperkuat pengawasan dan meningkatkan kualitas pelaksanaan Pilkada, konflik-konflik semacam ini dapat diminimalkan tanpa harus mengubah mekanisme pemilihan itu sendiri,” kata Wayan.

Oleh karenanya, Wayan mengajak semua pihak untuk mengedepankan kebijaksaan. Jangan sampai, kata dia, salah menilai masalah yang sesungguhnya. Tentunya, semua harus melihat data dan fakta di lapangan secara nyata. Permasalahan-permasalahan seperti money politic, konflik sosial, kurangnya partisipasi, kampanye hitam, serangan siber, dan lain sebagainya yang seringkali terjadi ada pada tataran implementasi, bukan pada kebijakan terkait sistemnya. 

Muhammadiyah: Wacana Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD Mesti Dikaji Multiaspek

“Demikian pula dalam hal sistem Pemilu (baik Pilpres maupun Pileg), persoalan bukan pada sisi kebijakan, namun pada sisi implementasi di lapangan. Jangan sampai kita kemudian mengubah sistem dan kebijakan hanya karena “latah” atau hasil evaluasi pendek yang justru berefek secara jangka panjang,” jelas Wayan.

Sebagai alternatif, Wayan mengatakan solusi yang lebih relevan adalah memperbaiki mekanisme Pilkada langsung. Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi pengawasan yang lebih ketat terhadap dana kampanye, peningkatan transparansi proses pemilihan, dan penguatan pendidikan politik dan akses informasi masyarakat. Penguatan pada partai politik juga dapat dilakukan untuk menghasilkan kader atau kandidat yang memang berkualitas, kredibel, dan dikenal oleh masyarakat. 

“Dengan demikian, sistem Pilkada langsung dapat semakin diperbaiki tanpa harus mengorbankan prinsip dasar demokrasi. Pada akhirnya, demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menjunjung tinggi suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Pilkada langsung bukan hanya sebuah mekanisme politik, tetapi juga cerminan komitmen bangsa terhadap nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia,” tegasnya.

Oleh karena itu, Wayan mengatakan mempertahankan Pilkada langsung bukan hanya soal teknis pemilihan, melainkan juga menjaga keberlanjutan demokrasi Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Semoga wacana untuk mengubah sistem pilkada langsung itu bukan bermaksud untuk melanggengkan dinasti politik dan kepentingan tertentu. 

“Saya mengajak kepada semua pihak, tanpa melihat latar belakang politik kita, untuk secara arif dan bijaksana merespon berbagai kelemahan-kelemahan atau kekurangan bangsa dan negara yang ada selama ini. Bersama-sama kita perlu menciptakan sistem kenegaraan dan kehidupan demokrasi yang lebih baik untuk anak cucu kita selanjutnya,” pungkasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya