Mahalnya Biaya Pemilu Disebabkan Rumitnya Regulasi, Menurut Anggota DPR
- AP Photo/Tatan Syuflana
Jakarta, VIVA - Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya meminta pemerintah melalukan evaluasi sistem pemilu yang berlangsung selama 2024 lantaran dinilai banyak menelan biaya.
Hal tersebut dikatakan Indrajaya agar pada tahun berikutnya Indonesia memiliki sistem politik yang baik dan tidak mahal.
"Mahalnya biaya yang dikeluarkan saat pemilu disebabkan rumitnya regulasi di mana UU Pemilu digunakan untuk memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka," ujarnya di Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Sedangkan UU Pilkada khusus untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, walikota dan wakilnya oleh rakyat secara langsung.
"Ini kerumitan pertama, sama-sama pemilu, tapi harus diatur dengan UU yang berbeda, sistem dan anggaran berbeda, padahal penyelenggaranya sama," kata legislator asal daerah pemilihan Papua itu.
Kerumitan regulasi itu yang membuat biaya penyelenggaraan pilkada hingga pileg membengkak.
Menurut data yang dimiliki Indrajaya, Pilkada 2024 menelan anggaran sebesar Rp 37,4 triliun yang bersumber 40 persen dari APBD dan 60 persen dari APBN.
Sedangkan anggaran pileg dan pilpres sebesar Rp71,3 triliun. Dana tersebut belum termasuk tambahan biaya pemungutan suara ulang (PSU) untuk pilkada di 287 TPS yang tersebar di 20 provinsi.
Anggaran itu juga belum termasuk biaya pilkada ulang karena kemenangan kotak kosong di Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang. Pilkada ulang ini akan digelar pada 27 Agustus 2025, karena menunggu naskah perjanjian hibah daerah (NPHD).
Menurut Indrajaya, kondisi akan semakin diperparah jika Pilpres 2024 lalu berlangsung selama dua putaran.
"Beruntung Pilpres 2024 satu putaran, bila dua putaran, negara harus menggelontorkan APBN tambahan sebesar Rp38,2 triliun," beber Indrajaya.
Tren biaya pemilu dari masa ke masa pun dinilai Indrajaya semakin meningkat. Pemilu 2004 menyedot anggaran Rp13,5 triliun, pada Pemilu 2009 naik menjadi Rp47,9 triliun, pada Pemilu 2014 kembali mengalami kenaikan sebesar Rp21,7 triliun, Pemilu 2019 Rp24,8 triliun, dan terakhir Pemilu 2024 mencapai Rp71,3 triliun.
"Ini juga yang menjadi alasan PKB mendorong BPK melakukan audit menyeluruh dana pemilu agar tidak menimbulkan syakwasangka," ujarnya.
Dengan adanya temuan ini, dia berharap pemerintah bisa lebih serius mengevaluasi sistem politik Indonesia demi menciptakan pemilu yang hemat.
"Bila anggaran pemilu dihemat maka pemenuhan kebutuhan anggaran semisal untuk Program Makan Bergizi Gratis senilai Rp71 triliun untuk tahun 2025 dan tambahan anggaran kesejahteraan guru ASN dan non-ASN yang mencapai Rp81,6 triliun pada APBN 2025 akan lebih ringan," kata dia. (ant)