Diplomasi Prabowo Dinilai Menyeimbangkan Berbagai Kepentingan Tanpa Korbankan Prinsip Bebas Aktif RI
- ANTARA/Hafidz Mubarak A
Jakarta, VIVA – Kunjungan kerja Presiden RI Prabowo Subianto jadi sorotan media asal Inggris The Economist. Media Barat itu menyinggung lawatan Prabowo yang menyambangi Cina hingga Amerika Serikat (AS).
Dalam laporannya, The Economist mengulas Prabowo ‘putus asa’ karena lawatan ke luar negeri itu menimbulkan pertanyaan tentang arah politik luar negeri Indonesia. Menurut The Economist, politik luar negeri RI di bawah Prabowo berpotensi kehilangan jati dirinya sebagai negara yang selama ini netral dan independen.
Pengamat dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi heran dengan laporan yang diulas The Economist.
Khairul menyebut artikel The Economist cenderung tendensius dan kurang berdasar karena menyebut diplomasi Prabowo bisa mengorbankan netralitas RI. Sebab, mengabaikan kompleksitas diplomasi yang dijalani Prabowo.
“Menurut saya artikel itu sangat tendensius. Tudingan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Presiden Prabowo berpotensi mengorbankan netralitas dan kemandirian tidak hanya kurang berdasar, tetapi juga mengabaikan kompleksitas diplomasi yang dijalankan oleh Indonesia,” kata Khairul dikutip pada Kamis, 4 Desember 2024.
Dia menuturkan kunjungan Prabowo ke beberapa negara termasuk negara kuat seperti Cina dan AS adalah bagian upaya memperkuat posisi RI di dunia internasional.
Bagi dia, diplomasi Prabowo menunjukkan bahwa RI tetap memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Bukan malah terjebak dalam pengaruh negara tertentu.
Khairul bilang lawatan Prabowo ke sejumlah negara dengan tujuan berbeda tak bisa disederhanakan sebagai sekadar pencarian pengakuan atau upaya untuk menyenangkan negara tertentu.
“Diplomasi dijalankan dengan upaya menyeimbangkan berbagai kepentingan, baik ekonomi, politik, maupun keamanan, tanpa mengorbankan prinsip bebas dan aktif,” lanjut Khairul.
Menurut Khairul, mestinya The Economist yang merupkan media barat mestinya bisa memberikan penilaian dengan pandangan yang luas terhadap langkah politik luar negeri RI.
“Menilai kebijakan luar negeri Indonesia hanya dari kunjungan ke dua negara besar ini tanpa melihat konteks keseluruhan (rangkaian kunjungan) adalah pandangan yang sempit,” jelasnya.
Dia menyebut ulasan The Economist tak memahami tujuan jangka panjang RI. “Dan, tidak memahami tujuan jangka panjang Indonesia memperkuat hubungan strategis dengan berbagai negara, tanpa mengorbankan kemandirian politik,” kata Khairul.