Pengamat: Diplomasi Prabowo Cerminkan Pendekatan Fleksibel Berlandaskan Pengalaman & Kebutuhan RI
- Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden
Jakarta, VIVA - Media asing asal Inggris, The Economist belum lama ini dalam laporan tulisannya mengkritisi diplomasi Presiden RI Prabowo Subianto saat kunjungan kerja ke sejumlah negara. Cina hingga Amerika Serikat (AS) sempat disambangi Prabowo.
Pengamat dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi tak sependapat dengan laporan The Economist. Dalam tulisannya, The Economist menyebut Prabowo ‘putus asa’ karena menimbulkan pertanyaan tentang arah politik luar negeri Indonesia.
Menurut The Economist, politik luar negeri Indonesia di era Prabowo berpotensi kehilangan jati dirinya sebagai negara yang selama ini netral.
Fahmi berpandangan laporan The Economist dalam tajuk itu sempit. Bagi dia, lawatan Prabowo dalam kunker ke sejumlah negara justru mencerminkan fleksibilitas RI untuk memperkuat posisinya di kancah global.
Meskipun, kata dia, kritik dari The Economics patut dicermati. Namun, ia berargumen bahwa analisis media asing itu tak sepenuhnya tepat.
"Cenderung didasarkan pada pandangan yang sempit dan mengabaikan kenyataan bahwa diplomasi yang dilakukan Prabowo justru mencerminkan pendekatan pragmatis dan fleksibel yang berlandaskan pengalaman dan kebutuhan Indonesia untuk memperkuat posisi di dunia global yang terus berkembang," kata Fahmi, dikutip pada Kamis, 5 Desember 2024.
Fahmi menuturkan kunker Prabowo ke sejumlah negara di awal jabatannya memang menarik perhatian. Sebab, lawatan Prabowo ke lima negara termasuk bertemu Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) justru menunjukkan ambisi RI untuk perkuat koneksi sebagai warga dunia.
"Tidak hanya menunjukkan ambisi Indonesia untuk memperkuat hubungan internasional, tetapi juga menggarisbawahi kedalaman pengalaman diplomatik yang dimilikinya," jelasnya.
Menurut Fahmi, kritik The Economist yang menyebut Prabowo terlalu percaya diri dan kurang dapat nasihat dari penasihatnya juga tak adil. Ia menilai Prabowo dengan latar belakangnya punya daya yang cukup untuk terlibat dalam dinamika politik internasional.
"Prabowo Subianto, dengan latar belakang sebagai mantan jenderal pasukan khusus, bukanlah orang baru dalam dunia diplomasi dan politik internasional," jelas Fahmi.
Dia menilai cara Prabowo dalam hasil lawatannya ke sejumlah negara juga berdampak positif.
"Sebagai seorang yang telah lama terlibat dalam berbagai dinamika politik dalam negeri, keputusan untuk memimpin delegasi Indonesia dalam tur luar negeri bukanlah hal yang diambil secara gegabah," tuturnya.
Lebih lanjut, Fahmi juga mengingatkan kebijakan luar negeri bebas aktif yang dianut RI adalah aspek yang tak boleh diabaikan.
"Salah satu aspek yang sering diabaikan dalam kritik terhadap kunjungan luar negeri ini adalah bahwa Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo, berusaha untuk menjaga keseimbangan yang sehat dalam hubungan luar negeri," lanjut Fahmi.
Ia menambahkan, kebijakan luar negeri bebas aktif ala RI bukan berarti Indonesia menghindari kontoversi atau tidak mengambil posisi dalam isu-isu besar global. Kata Fahmi, justru sebaliknya, kebijakan itu menegaskan RI tak akan terjebak dalam pertarungan politik internasional.
"Diplomasi Prabowo yang mencakup berbagai pertemuan dengan pejabat dunia, serta tindakannya untuk hadir di berbagai forum internasional, adalah manifestasi nyata dari komitmen Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional di berbagai sudut dunia," tutur Fahmi.
Sorotan kepada The Economist sebelumnya juga disampaikan Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi. Ia mengatakan laporan media asing itu tertutup kabut ego superioritas dunia Barat.
“Sama seperti ketika mereka tak mampu melihat bahwa ada kekejaman dan genosida yang sedang berlangsung di Palestina,” tulis Hasan melalui akun Instagram @hasan_nasbi.
Ia menyebut The Economist terperangkap dengan cara pandang media barat. Hasan menuturkan cara pandang itu yaitu sulit memahami diplomasi negara dari dunia Timur yang ingin membina persahabatan dengan siapa pun
“Mereka ingin memaksakan logika biner. Kalau berteman dengan RRC maka tidak bisa berteman dengan US, begitu juga sebaliknya,” kata Hasan.