Angka Golput Meningkat saat Pilgub Jakarta 2024, LSI Denny JA Beberkan Pemicunya
- Istimewa
Jakarta, VIVA - Lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia Denny Januar Ali (LSI Denny JA) merilis terkait kenaikan data golput dalam perhelatan Pilkada 2024 di 7 provinsi besar. Kenaikan rata-rata golput dari total 7 provinsi itu mencapai 37,63 persen.
Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby menjelaskan dari data yang dihimpun pihaknya, angka golput itu berasal dari data hitung cepat atau quick count.
"Data quick count kita menunjukkan bahwa rata-rata angka golput di 7 provinsi ini 37,63 persen. Jadi, ini dibikin rata-rata dari golput di 7 provinsi ini," kata Adjie di Jakarta, Rabu, 4 Desember 2024.
Adjie menjelaskan perbandingan angka golput di 7 provinsi tersebut. Ia membandingkan dalam kontestasi Pilgub Jakarta 2017 angka golput mencapai 20,5 persen.
Namun, untuk pilgub tahun ini naik jauh mencapai 46,91 persen. Lalu, di Banten, sebelumnya 36,1 persen kini jadi 37,78 persen.
Untuk Jawa Barat, angka golput naik signifikan dari 29,7 persen sebelumnya, menjadi 36,98 persen. Sedangkan, Jawa Tengah malah turun sedikit dari Pilgub sebelumnya 32,36, menjadi 29,48 persen.
Sementara, angka golput di Jawa Timur naik dari 33,08 persen menjadi 34,68 persen. Adapun di Sumatera Utara juga naik signifikan dari 38,22 persen menjadi 46,41 persen.
Kemudian, provinsi Sulawesi Selatan dari 29,84 persen jadi 31,14 persen. "Tren rata-rata kenaikan golput pada Pilkada 2024 sekitar 6,23 persen," tuturnya.
Adjie pun membeberkan pemicu golput meningkat berdasarkan hasil riset, LSI Denny JA. Kata dia, ditemukan ada empat faktor yang jadi penyebabnya.
Pertama, karena kelelahan Pemilu. Perhatian dan energi sudah terkuras dalam Pilpres dan Pileg 2024. Kondisi itu menyebabkan persaingan saat kontestasi pilkada jadi kurang daya tariknya.
Kedua, kontestan yang bertarung dianggap kurang pesonanya. Hal itu terutama dalam persaingan di Pilgub Jakarta dan Sumut.
Kata dia, calon yang lebih favorit di daerah itu, seperti Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Jakarta malah terhambat maju secara politik.
Faktor ketiga yaitu semakin tak yakin rakyat pemilih terhadap kepala daerah bisa mengubah hidup mereka. Menurut dia, malah ada keyakinan keputusan penting yang berdampak dalam hidup mereka lebih ditentukan Pemerintah Pusat.
"Keempat, bertambahnya apatisme politik. Isu polarisasi politik, korupsi di kemewahan hidup sebagian pejabat negara, membuat apatisme politik meninggi," jelas Adjie.
Dia mengatakan golput bisa juga memperkuat polarisasi. Ia menyebut demokrasi berubah menjadi pertarungan antar kelompok kecil, bukan arena konsensus bersama.
Ia menyebut kekhawatiran lebih buruk bahwa rendahnya partisipasi bisa mendorong politik elitisme. Ajie mengatakan perhelatan pilkada perlu kembali digairahkan dengan kampanye yang punya makna edukasi pendekatan berbeda.
"Kampanye edukasi politik harus dilakukan berkesinambungan, menggunakan pendekatan. Kreatif seperti media sosial, drama, atau influencer. Pesan utamanya adalah: setiap suara adalah investasi untuk masa depan," tuturnya.