Intervensi Kekuasaan Jadi Faktor Partisipasi pada Pilkada 2024 Rendah, Menurut Profesor Politik

Warga DKI Jakarta Lakukan Pemungutan Suara Pilkada (foto ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Jakarta, VIVA - Akademikus sekaligus pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand) Prof. Asrinaldi mengatakan bahwa intervensi kekuasaan menjadi salah satu faktor partisipasi Pilkada serentak 2024 rendah, apalagi bila calon yang maju tidak sesuai harapan.

Bawaslu Keluarkan 180 Rekomendasi PSU di Pilkada 2024, Ada 26 Tak Dijalankan KPU

"Memang isu tentang partisipasi ini menjadi perhatian banyak pihak dan cenderung mengatakan bahwa ada kejenuhan," kata Asrinaldi saat dihubungi dari Jakarta, Rabu, 4 Desember 2024.

Menurut dia, bukan hanya kejenuhan yang terjadi pada para pemilih, namun intervensi kekuasaan juga menjadi salah satu faktor Pilkada serentak 2024 tingkat partisipasinya menurun.

Pakar Nilai Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 Turun dibanding Pemilu karena "Voters Fatigue"

Ilustrasi Pilkada Serentak 2024

Photo :
  • tvOne

Ia menjelaskan bahwa masyarakat juga kurang tertarik memilih pemimpin sebab informasi yang berkembang ada keterlibatan aparat dan politik uang sehingga pemilih enggan menyalurkan hak pilihannya.

Parpol Capek Sehingga Berefek pada Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 Turun, Kata Pakar Ilmu Politik

"Maraknya politik uang, mobilisasi aparat, dan maraknya keterlibatan kekuasaan mengintervensi menjadi faktor penyebab partisipasi rendah," tuturnya.

Untuk itu, kata Asrinaldi, pemerintah dan penyelenggara harus bisa mengatasi itu semua dengan terobosan untuk pilkada, salah satunya yaitu mempertimbangkan pilkada asimetris.

Ia mengatakan, dengan menggunakan pilkada yang tidak hanya dipilih secara langsung tapi dikombinasikan antara pemilih langsung dan juga melalui DPRD.

Warga menentukan pilihannya dalam Pilkada. (ilustrasi)

Photo :
  • ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

"Saya pikir tidak semua daerah itu melaksanakan pilkada. Harus ada pilkada asimetris. Dan itu sebenarnya sudah dilaksanakan. Buktinya di Yogyakarta tidak memilih gubernur karena memang raja ditetapkan sebagai gubernur," ujarnya.

Selain itu, lanjut Asrinaldi, bisa dilakukan juga dengan menggunakan parameter-parameter tertentu. Misalnya indeks pembangunan manusia. Kalau IPM tertentu di daerah itu memang masyarakatnya rendah dari segi rata-rata pendidikannya, rata-rata ekonominya, kemudian angka harapan hidup dan seterusnya mungkin diserahkan ke DPRD itu alternatif terbaik.

"Kalau masyarakat sudah maju, IPM sudah maju baru secara langsung. Artinya politik uang, tekanan, dan intervensi mereka bisa hadapi," katanya. (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya