Pakar Nilai Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 Turun dibanding Pemilu karena "Voters Fatigue"
- ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Jakarta, VIVA - Pakar ilmu politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Caroline Paskarina menilai bahwa penguatan sosialisasi pemilihan umum (pemilu) dapat meminimalkan kejenuhan pemilih.
“Ke depan, penting untuk menguatkan sosialisasi pemilihan dengan metode-metode yang relate (berhubungan) dengan pemilih, terutama pemilih muda, generasi Z atau gen Z, yang merupakan proporsi terbesar pemilih,” kata Caroline saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Selasa, ketika menanggapi menurunnya partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 ketimbang Pemilu 2024.
Menurut dia, penguatan sosialisasi dapat membuat pemilih termotivasi menggunakan hak pilih di pilkada karena mengetahui pasangan calon kepala daerah mempunyai program yang relevan dengan aspirasinya.
Selain itu, dia mengatakan bahwa sosialisasi ketentuan pindah memilih untuk warga pendatang juga diperlukan untuk meningkatkan partisipasi pemilih pada penyelenggaraan pemilihan berikutnya.
“Sehingga mereka tetap bisa memberikan suara di tempat tinggalnya yang sekarang karena partisipasi juga bisa turun ketika pemilih tidak tahu bisa pindah memilih kalau berhalangan pulang ke daerah asal,” ujarnya.
Ia juga mengatakan sosialisasi dan pendidikan politik secara berkelanjutan dapat menguatkan kesadaran pemilih untuk berpartisipasi menggunakan hak pilih.
“Jangkauan pemberitaan media tentang pilkada juga kadang masih belum merata, sehingga perlu mendorong peran media lokal dalam sosialisasi pilkada,” ujarnya.
Dia mengatakan pemberitaan kinerja para kepala daerah terpilih pasca-pilkada juga perlu dilakukan oleh media sebagai bagian dari pendidikan politik, sehingga pemilih dapat memahami konsekuensi dari pilihan berpartisipasi atau tidak dalam memilih pada pilkada.
“Ini diharapkan bisa mendorong tingkat partisipasi lebih baik dalam lima tahun ke depan, sekaligus meminimalkan voters fatigue (kejenuhan pemilih) karena merasa partisipasi mereka tidak ada kaitannya dengan kebijakan dan kinerja pembangunan,” katanya.
Oleh sebab itu, dia menilai pemberian jeda waktu Pemilu dengan Pilkada tidak terlalu menentukan tingkat partisipasi dibandingkan penguatan sosialisasi.
“Akan tetapi, ketika sosialisasi kurang, dan figur-figur pasangan calon kepala daerah yang berkontestasi juga program-programnya kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat maka pemilih akan enggan untuk memberi suara,” katanya.
Anggota KPU RI August Mellaz di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 di bawah 70 persen. Walaupun demikian, dia mengatakan bahwa angka tersebut masih dapat dikategorikan normal.
Anggota KPU RI Idham Holik di Jakarta, Sabtu, mengatakan bahwa lembaganya menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 mencapai 82 persen.
Pada Rabu, KPU RI mengungkapkan bahwa 81,78 persen pemilih menggunakan hak pilih pada Pilpres 2024, kemudian sebanyak 81,42 persen pada Pemilu Anggota DPR RI, dan 81,36 persen untuk Pemilu Anggota DPD RI. (ant)