Sidang Promosi Doktor di UI, Hasto Soroti Praktik Abuse of Power dalam Pemerintahan
- Istimewa
Depok, VIVA – Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto hari ini menjalani Sidang Terbuka Doktoral yang digelar di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Depok. Hasto Dia menempuh pendidikan Doktor di Sekolah Kajian dan Stratejik Global (SKSG) UI selama enam semester atau tiga tahun.
Dalam disertasinya, Hasto membahas soal Kepemimpiman Strategis Politik, Ideologi dan Pelembagaan Serta Relevansinya Terhadap Ketahanan Partai. Dia juga sempat menyinggung perihal abuse of power saat Pilpres 2024. Menurutnya, abuse of power juga pernah terjadi di era pemerintahan Presiden Soeharto. Di mana ketika pemerintahan saat itu berjalan secara otoriter.
“Ya sebenarnya bukan hanya itu, di dalam disertasi secara lengkap itu proses pemerintahan yang otoriter terjadi pada masa Pak Harto. Tetapi kemudian ketika kita bersama-sama membangun jalan demokrasi, pasca jatuhnya Pak Harto, kemudian wajah demokrasi yang otentik dari rakyat untuk rakyat itu ternyata bisa berubah melalui the triangle of otoritarian populism dan landasan teoritiknya sangat banyak,” katanya, Jumat 18 Oktober 2024.
Lebih lanjut dikatakan, itu adalah guncangan terbesar yang dialami PDI Perjuangan. Hal itu kemudian dikonstruksikan dalam teori pelembagaan partai agar partai bisa bertahan yang disebut sebagai the Avangared Party Instituitation (API).
“Dengan API ini mencerminkan bagaimana seluruh identifikasi terhadap kepemimpinan ideologi, pelembagaan dan ketahanan partai dapat dilakukan dan ini sebagai sumbangsih di dalam memperkuat demokrasi kita melalui pelembagaan partai,” ungkapnya.
Lebih lanjut disebut, tidak ada tendensi kepada orang per orang hanya berdasarkan kajian dengan para informal. Secara proposif akhirnya ditemukan secara kualitatif dan kuantitatif bahwa power dapat mengubah ketika aktor meninggalkan ide yang membentuknya.
“Secara proporsif akhirnya ditemukan secara kualitatif dan kuantitatif bahwa Presiden Jokowi yang seharusnya menjadi simbol otoritas moral, simbol dari bekerjanya hukum yang berkeadilan, ternyata mengalami perubahan,” ungkapnya.
“Dan itu banyak dijelaskan teori-teori yang memberikan legitimasi dan dalam teori Hannah Arendt memang power itu bisa berubah ketika aktor meninggalkan ide atau gagasan politik yang membentuknya, maka cenderung melakukan justifikasi dan legitimasinya turun karena perubahan tujuan,” pungkasnya