DKPP Tak Bisa Usut Kasus Private Jet hingga Apartemen Anggota KPU, Ini Alasannya

DKPP Berhentikan Ketua KPU Hasyim Asy'ari
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

Jakarta, VIVA - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lukito menjelaskan alasan pihaknya tidak bisa mengusut dan memeriksa dugaan pelanggaran kode etik anggota KPU RI terkait dengan penggunaan private jet hingga apartemen untuk tempat tinggal. 

Ditekankan Heddy, DKPP bersifat pasif, sehingga baru bisa memeriksa dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu, jika ada laporan atau pengaduan.

"Tadi seperti pertanyaan soal private jet apa segala macam itu tadi kan. Kalau gak ada pengaduan, DKPP nggak bisa ngapain, nggak bisa memeriksa. Ya kalau pernyataan-pernyataan publik, ya silahkan saja, tapi DKPP tidak bisa bergerak kalau tidak ada pengaduan. Itu aja poinnya," kata Heddy di Bogor, Jawa Barat, Jumat, 27 September 2024.

Heddy menerangkan, sifat pasif DKPP adalah amanat peraturan perundang-undangan. Dia mengatakan hal tersebut, bisa berubah jika pemerintah dan DPR merevisi UU Pemilu, sehingga DKPP bisa bergerak aktif mengusut dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tanpa menunggu aduan dari masyarakat atau peserta pemilu.

"Iya pasif, enggak bisa ngapa-ngapain. Undang-undang tidak memungkinkan kami untuk aktif gitu aja. Undang-undang udah menyatakan pasif, dan yang memang harus pasif, gak boleh aktif. Ini lembaga peradilan etik kok. Kalau aktif kan jadi berlawanan dengan etika peradilan," kata Heddy.

Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR Fraksi Demokrat, Reska Oktoberia, mencecar para anggota KPU terkait evaluasi penggunaan anggaran KPU selama ini. 

Reska menyinggung sejumlah kegiatan KPU selama ini yang dinilai tidak efisien dan efektif serta berujung pada pemborosan anggaran, seperti pilihan tinggal di apartemen sementara rumah dinas disediakan, penggunaan private jet hingga pembuatan film terkait pemilu.

Hal ini disampaikan Reska dalam rapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu dan BPIP soal usulan anggaran tahun 2024 di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa kemarin.

Prostitusi Online di Apartemen Depok Terkuak, Dugaan Keterlibatan Pejabat Bakal Dibongkar

Dalam rapat itu, hadir ketua KPU Mochammad Afifuddin dan jajaran komisioner lainnya.

"Saya ingatkan terakhir kali, tolong, kalau tidak akan mau menggunakan rumah dinas, jangan komisioner tinggal di apartemen. Karena apartemen juga dibiayai oleh APBN, rumah dinas perawatannya juga dari APBN, pemborosan," ujar Reska.

Mulai Serah Terima Kunci, Apartemen Agung Podomoro Rp 300 Jutaan di Depok Sudah Terjual 70 %

Reska menyebut alasan KPU mengada-ada dengan menyebutkan bahwa tinggal di apartemen untuk memperlancar kegiatan pemilu yang padat. Karena itu, dia meminta anggota KPU segera meninggal apartemen dan tinggal di rumah dinas atau tinggal di apartemen dengan biaya pribadi, bukan APBN.

"Kalau masih ada yang tinggal di apartemen, tolong tutup cepat apartemennya! Anggarannya diberikan untuk kepentingan yang lain. Kalau masih mau tinggal di apartemen, bayar dengan dana pribadi masing-masing sendiri," ujarnya.

Detik-detik Mengerikan Wanita Muda Tewas Terjatuh dari Lantai 30 Apartemen di Tangerang

Reska juga sempat menyinggung pengunaan private jet oleh KPU dalam Pemilu 2024 lalu. Sebab, Reska mengaku sudah mempertanyakan hal tersebut saat konsinyering Komisi II DPR dengan KPU pada Mei 2024, namun jawaban tertulis KPU tidak memuaskan dan sekedar menjawab seadanya.

"Saya tidak menemukan jawaban yang tepat di dalam pertanyaan saya. Contoh, menggunakan private jet untuk supervisi dan monitoring KPU ke Bali anggarannya berasal dari APBN. Monitoring logistik, komisioner yang membidangi logistik saja tidak ikut, itu satu. Penggunaannya (private jet) juga bukan sekali," kata Reska.

Selain situ, Reska juga menyoroti langkah KPU membuat film terkait sosialisasi gelaran pemilu. Menurut Reska, langkah itu tidak terlalu efektif karena hanya menghabiskan uang dengan dampak yang kecil.

"Saya mau bertanya dulu ini terkait dengan film yang dibuat oleh KPU, ini filmnya sudah dua. Pertama, (judulnya) Kejarlah Janji. Kedua, Tagihlah Janji. Kita nggak tahu nih apa akan ada lagi film ketiga, keempat, atau berikutnya," ujarnya.

Menurut Reska, KPU perlu mengevaluasi urgensi pembuatan film dokumenter tersebut. Dia menyayangkan dana dari APBN harus digelontorkan demi membuat film semacam itu.

"Harus ada evaluasi dari pembuatan film ini yang dilakukan oleh KPU, apa efeknya, kalau gak ngapain keluarin uang? Dan ini masuk anggaran di mana? Coba tolong dibantu dijelaskan, nomenklaturnya di mana, dan jenis pembiayaannya apa?" katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya