PDIP: Sosok Pramono Anung Titik Temu Jokowi, Prabowo dan Ibu Megawati

Ketua PDIP Jawa Timur Said Abdullah.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faishal (Surabaya)

Jakarta, VIVA - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Said Abdullah mengatakan kerja sama politik dalam Pilkada Serentak 2024 haruslah dipahami sebagai sebuah kontestasi demokratis. Dia menekankan, kerja sama itu tak boleh diartikan sebagai ajang permusuhan.

Budi Gunawan Ingatkan Seluruh Unsur Negara Netral di Pilkada Serentak 2024

Demikian itu disampaikan Said merespons berbagai pertanyaan terkait daerah-daerah di mana calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusung oleh PDIP, dianggap berhadapan dengan calon-calon dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

"Kita harus melihat bahwa kerja sama politik dalam Pilkada harus kita maknai sebagai kontestasi demokratis, bukan sebuah permusuhan politik. Cara pandang ini harus clear lebih dulu," kata Said kepada awak media Senin, 23 September 2024.

Ribuan Masyarakat Senam Bersama Edy-Hasan, Sofyan Tan Serukan Tolak Dinasti dan Money Politik

Jokowi dan Pramono Anung

Photo :
  • https://setkab.go.id/

Menurut Said, Pilkada merupakan jalur demokratis dan konstitusional untuk memilih pemimpin daerah. Setelah Pilkada usai, pihak-pihak yang sebelumnya berkompetisi seharusnya dapat bersatu kembali dan bekerja sama untuk membangun daerah sesuai peran masing-masing.

Ketua Persepi: Dewan Etik Tidak Pernah Bilang Data Poltracking Salah

Dia menyebut terbentuknya kerja sama politik dalam Pilkada di sejumlah daerah oleh KIM atau KIM Plus, harus dilihat dalam konteks politik pasca-Pilpres dan sebelum munculnya Putusan MK Nomor 60 pada 20 Agustus 2024.

"Kalau saya baca, saat itu memang ada sejumlah keinginan dari sejumlah elit politik yang ingin mengulang kesuksesan pada Pilpres dalam Pilkada. Namun setelah munculnya Putusan MK No. 60 tahun 2024, dan munculnya sejumlah figur calon kepala daerah, peta politik telah berubah," kata dia.

Said mencontohkan pemilihan gubernur Jakarta di mana rencana awal untuk menggeser Ridwan Kamil dari Jawa Barat ke Jakarta, dengan tujuan menghadapi atau seakan-akan menghadang Anies Baswedan, berubah dengan munculnya sosok Pramono Anung.

"Figur Mas Pram menjadi titik temu antara Pak Jokowi, Pak Prabowo dan Ibu Mega. Fakta politik baru inilah yang harus kita cermati, agar tidak semata mata terpaku pada kerjasama politik formalistik," jelas Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.

Demikian juga dengan munculnya figur Andika Perkasa di Jawa Tengah. Adapun, Andika itu pernah menjadi simbol karena pernah menjabat pucuk pimpinan TNI, sehingga latar belakangnya juga tidak bisa dianggap remeh.

"Saya kira situasi ini juga mengubah peta Pilkada di Jawa Tengah. Apalagi Pak Andika juga berhubungan baik dengan Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Bahkan, Pak Andika pernah menjadi pembantu Pak Jokowi saat menjabat Komandan Paspampres, yang menjaga 24 jam Pak Jokowi saat bertugas ataupun tidak bertugas," kata Said.

Dengan demikian, Said menegaskan kontestasi Pilkada merupakan soal figur yang 'dijual' kepada rakyat, figur yang mencakup prestasi, rekam jejak, kemampuan komunikasi politik dengan pemilih, strategi pemenangan, dukungan logistik, dan jaringan sosial.

"Tidak bermaksud mengerdilkan partai partai pengusung. Namun apapun itu, pemilih tetap melihat figur yang diusungnya," kata Said.

Selanjutnya, dalam survei sering muncul fenomena split ticket voting, di mana pendukung partai A bisa saja memilih kandidat dari partai B karena dianggap lebih memenuhi harapan mereka.

"Faktor split ticket voting dalam pilkada ini cukup besar. Sebab belum tentu aras elit sejalan dengan aspirasi grassroot-nya, mempertimbangkan situasi seperti ini, saya kira Pilkada akan semakin dinamis. Dengan demikian, kita tidak bisa terpaku hanya formalitas kerja sama politik," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya