PDIP: Pilkada Bukan Ajang Permusuhan Politik, tapi Kontestasi Demokrasi

Ketua DPD PDIP Jatim M Said Abdullah.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faishal (Surabaya)

Jakarta, VIVA - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Said Abdullah menanggapi adanya anggapan bahwa calon kepala daerah yang diusung PDI Perjuangan berhadapan dengan calon yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) pada Pilkada Serentak 2024. Menurut dia, Pilkada Serentak ini ajang kontestasi sehingga jangan dipahami sebagai permusuhan.

Pramono Anung Cerita Gus Dur-Megawati Aslinya Tak Akur, Rujuk Gara-gara Nasi Goreng

“Kita harus melihat bahwa kerja sama politik dalam Pilkada, harus kita maknai sebagai kontestasi demokratis, bukan sebuah permusuhan politik. Cara pandang ini harus klir lebih dulu,” kata Said di Jakarta pada Senin, 23 September 2024.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah

Photo :
  • DPR RI
Haris Rusly Moti: PPN 12 Persen Produk PDIP Sebagai Ruling Party

Sebab, kata dia, kontestasi Pilkada adalah jalan demokratis dan konstitusional untuk mendapatkan pemimpin di daerah. Setelah Pilkada, semua pihak yang tadinya berkontestasi hendaknya rukun kembali bersama-sama membangun daerah dengan perannya masing masing.

Kedua, lanjut dia, terbentuknya kerja sama politik di Pilgub dari sejumlah daerah dari KIM bahkan KIM Plus, harus melihat konteks politik paska Pilpres dan sebelum lahirnya Putusam MK Nomor 60 pada tanggal 20 Agustus 2024. 

KPU: Idealnya Kepala Daerah Dilantik Setelah 13 Maret 2025

“Kalau saya baca, saat itu memang ada sejumlah keinginan dari sejumlah elit politik yang ingin mengulang kesuksesan pada pilpres dalam pilkada. Namun, setelah munculnya Putusan MK No. 60 tahun 2024, dan munculnya sejumlah figur calon kepala daerah, peta politik telah berubah,” jelas Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini.

Misalnya, kata Said, Pilkada di Daerah Khusus Jakarta (DKJ), awalnya untuk menukar Ridwan Kamil dari Jawa Barat ke DKJ, sekaligus untuk menghadapi atau seakan-akan untuk menghadang Anies Baswedan. 

“Namun, dengan munculnya nama Mas Pramono Anung, saya kira peta juga berubah. Figur Mas Pram menjadi titik temu antara Pak Jokowi, Pak Prabowo dan Ibu Mega. Fakta politik baru inilah yang harus kita cermati, agar tidak semata mata terpaku pada kerja sama politik formalistik,” jelas dia.

Selain itu, Pilkada Jawa Tengah juga muncul figur mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Andika Perkasa. Menurut dia, Andika itu pernah menjadi simbol karena menjabat pucuk Pimpinan TNI. Sehingga, kata dia latar belakang Andika ini tidak bisa dianggap remeh.

“Saya kira situasi ini juga mengubah peta Pilkada di Jawa Tengah. Apalagi Pak Andika juga berhubungan baik dengan Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Bahkan, Pak Andika pernah menjadi pembantu Pak Jokowi saat menjabat Komandan Paspampres yang menjaga 24 jam Pak Jokowi saat bertugas atau tidak bertugas,” ungkapnya.

Selanjutnya, Said mengatakan rakyat juga akan melihat sosok figur dalam kontestasi Pilkada. Tentu, kata dia, figur yang dijual ke rakyat adalah menyangkut prestasi, rekam jejak, kemampuan komunikasi politiknya dengan memilih, strategi pemenangan, dukungan logistik, jaringan sosial dan lain-lain.

“Tidak bermaksud mengerdilkan partai-partai pengusung. Namun apapun itu, pemilih tetap melihat figur yang diusungnya,” ucapnya.

Kata Said, dalam survei sering mendengar split ticket voting yaitu pendukung partai A, di mana Partai A mendukung kandidat yang tidak dinginkan oleh pendukung Partai A tersebut. Sehingga, mereka memilih mendukung figur dalam Pilkada yang diusung Partai B karena dianggap lebih memenuhi harapannya.

“Faktor split ticket voting dalam Pilkada ini cukup besar. Sebab, belum tentu aras elit sejalan dengan aspirasi grassrootnya, mempertimbangkan situasi seperti ini, saya kira pilkada akan semakin dinamis. Dengan demikian, kita tidak bisa terpaku hanya formalitas kerjasama politik,” pungkasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya