PDIP Sebut Gugatan 4 Kader ke PTUN sebagai "Upaya Penyerangan"
- ANTARA/Narda Margaretha Sinambela
Jakarta, VIVA - Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Deddy Yevri Sitorus merespons gugatan empat kader ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), atas pengesahan kepengurusan DPP PDI Perjuangan periode 2019-2024 yang diperpanjang hingga tahun 2025.
Menurutnya, gugatan itu merupakan langkah hukum yang tidak murni. Ia juga menyebut penggugat tak ada kerugian baik moril maupun materil dan upaya penyerangan terhadap PDIP.
"Soal SK perpanjangan kepengurusan PDIP yang digugat ke PTUN, kami menganggapnya sebagai sebuah langkah politik yang keterlaluan, ini bukan upaya hukum murni. Tidak ada kerugian apapun, baik moril maupun materil bagi penggugat. Gugatan ini lebih kelihatan sebagai upaya 'penyerangan' terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)," ujar Deddy Sitorus dalam keterangannya, Selasa, 10 September 2024.
Deddy mengatakan kuasa hukum para penggugat terafiliasi dengan partai politik tertentu. "Dan yang aneh, beberapa pengacara penggugatnya, menurut informasi terlihat berafiliasi dengan satu partai tertentu. Jadi, menurut saya, aroma politiknya sangat terasa," ujar dia.
Di sisi lain, kata dia, pihaknya telah mengkaji secara mendalam terkait proses kepengurusan PDIP. Termasuk, dalam kajian hukum di Kemenkumham.
"Kalau logika mereka para penggugat ini diikuti, maka seluruh produk dan konsekuensi hukumnya sangat besar. Karena tahun 2019, PDI Perjuangan mempercepat Kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah dan provinsi untuk menyesuaikan dengan agenda politik nasional pada saat itu," kata Deddy.
"Jika memakai logika penggugat, maka SKK DPP PDI Perjuangan yang dikeluarkan pasca-percepatan kongres itu jadi tidak sah. Termasuk keputusan DPP PDI Perjuangan menyangkut pemilihan kepala daerah saat itu. Kalau begitu, akan terjadi krisis kenegaraan," katanya.
Ia mencontohkan saat Gibran Rakabuming Raka menjadi wali kota Solo menggunakan SK PDIP. Saat itu, kata dia, kongres dipercepat dan sah menurut hukum.
"Contoh, Gibran Rakabuming itu jadi wali kota Solo dengan menggunakan SK DPP PDI Perjuangan yang dipercepat Kongresnya. Kalau keputusan DPP saat itu cacat hukum, jadi Gibran adalah produk cacat hukum. Maka sesat logika ini harus dihentikan dan tidak boleh difasilitasi, apalagi kalau motivasinya adalah politik. Saya sarankan agar para otak kotor, atau mastermind dan dalang dari upaya sabotase PDI Perjuangan ini, untuk berpikir panjang dan tidal usah cari masalah," ujarnya.
Empat orang kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengajukan gugatan pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), atas pengesahan kepengurusan DPP PDI Perjuangan periode 2019-2024 yang diperpanjang hingga tahun 2025. Keempatnya adalah Pepen Noor, Ungut, Ahmad, dan Endang Indra Saputra.Â
Anggota tim advokasi kader partai, Victor W. Nadapdap memastikan pihaknya akan membawa persoalan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
"Mengingat, hal tersebut diduga bertentangan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI Perjuangan," kata Victor dalam keterangannya pada Minggu, 8 September 2024.
Berdasarkan Keputusan Kongres PDI Perjuangan pada 9 Agustus 2019, telah ditetapkan Keputusan Nomor 10/KPTS/Kongres-V/PDI-Perjuangan/VIII/2019 tentang AD/ART PDI Perjuangan. "Sekaligus mengesahkan program dan menugaskan DPP PDI-P masa bakti 2019-2024," ujarnya.
Karenanya, apabila Kemenkumham mengesahkan SK Nomor M.HH-05.11.02 tahun 2024 yang dibacakan oleh Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 17 terkait struktur dan komposisi DPP ODJ Perjuangan. Di mana, hal tersebut mengatur masa bakti DPP adalah selama 5 tahun.
"Berdasarkan Pasal 17 tentang struktur dan komposisi DPP yang mengatur masa bakti anggota DPP selama 5 tahun, maka seharusnya masa bakti kepengurusan yang sesuai dengan AD/ART adalah hingga 9 Agustus 2024," kata Victor.