Ketua Bawaslu Sebut Tahapan Pilkada 2024 Diawali "Turbulensi Besar"

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Rahmat Bagja
Sumber :
  • VIVA.co.id/Natania Longdong

Jakarta, VIVA – Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengklarifikasi bahwa pada saat demonstrasi besar-besaran terjadi karena dua putusan MK yang dianulir DPR lewat revisi UU 10/2016 tentang Pilkada, dia tengah bertugas di luar negeri.

KPU Umumkan Penerimaan Masukan dan Tanggapan Masyarakat Terhadap Cagub-Cawagub Jakarta 2024

Hal itu disampaikan Bagja saat menghadiri acara Peluncuran Pemetaan Kerawanan Pemilihan Serentak Tahun 2024 di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2024.

"Kita dihadapkan pada turbulensi besar di awal-awal tahapan ini. Alhamdulillah, saya enggak di sini. Tapi, saya ketar-ketir, deg-degan, kalau KPU diduduki, tidak mengikuti putusan (MK nomor) 60 dan 70, maka akan pindah turbulensinya ke Bawaslu," kata Bagja.

KPU Nyatakan Tiga Paslon di Pilgub Jakarta Sudah Penuhi Syarat, Suswono Ungkap Hal Ini

Foto udara massa melakukan aksi menolak pengesahan Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2024.

Photo :
  • ANTARA/Galih Pradipta

Ketua Bawaslu itu mengaku bersyukur bahwa KPU memasukkan amar putusan MK dalam draf Peraturan KPU (PKPU) perubahan tentang Pencalonan Kepala Daerah. Di mana, norma ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah mengacu pada perolehan suara partai, bukan perolehan kursi parlemen, dan syarat minimum usia calon kepala daerah dipatok berdasarkan tanggal penetapan calon.

Petinggi Gerindra Diisukan Gantikan Retno Marsudi Jadi Menlu, Begini Respons DPR

"Makanya kita bisiki Pak Afif (Ketua KPU Mochammad Afifuddin) Alhamdulillah sudah patuhi MK. Karena turbulensi terakhir adalah Bawaslu," ujarnya.

Meski demikian, Bagja memandang putusan MK telah melampaui tugas DPR, yang mengubah Undang-undang.

Dia juga kerap mendapati MK tidak konsisten dalam membuat keputusan atas beberapa perkara uji materiil norma Undang-undang.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia / MKRI

Photo :
  • vivanews/Andry Daud

"Kita pengalaman, pada saat sengketa pencalonan DPD. Putusan MK tahun 2018 membuat syarat berubah pada saat proses tahapan DCS (daftar calon sementara) ke DCT (daftar calon tetap)," papar Bagja.

"Walaupun kita bisa kritik MK karena ada ketidakkonsistenan pada MK itu, mengubah syarat mencalonkan DPD dan ada tafsiran yang berbeda antara KPU dan Bawaslu, ini yang harus kita benahi bersama," tambahnya.

Menurut Bagja, idealnya pada saat tahapan penyelenggaraan pemilihan sedang berlangsung, tidak ada perubahan norma peraturan perundang-undangan.  

"Kami sudah berkali-kali mengingatkan itu, nanti ke depan tidak boleh ada putusan-putusan pengadilan yang diputuskan dalam tahapan penyelenggaraan pemilu dan pilkada, apalagi terutama dengan (tentang) syarat."

Bagja beranggapan putusan MK 60 dan 70 berbeda kedudukannya. Sebab, di putusan 60, MK benar-benar mengabulkan gugatan penggugat soal threshold pencalonan. Sementara di putusan 70, MK menolak tetapi ada pertimbangan hukum yang isinya memerintahkan KPU untuk mengikuti aturan batas usia cakada yang ada dan sudah jelas diatur di UU Pilkada.

"Seharusnya yang kita pegang adalah amar putusan, bukan pertimbangan. Perintah itu ada di amar, bukan pertimbangan hukum. Di putusan 60 dan 70 agak berbeda."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya