TII Sebut Rakyat Berhak Marah atas Ketidakpatuhan DPR pada Putusan MK
- VIVA.co.id/Eduward Ambarita
Jakarta, VIVA - Peneliti The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Christina Clarissa Intania menyerukan bahwa rakyat berhak marah atas ketidakpatuhan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat batas usia calon kepala daerah, dan tetap menggunakan syarat partai politik dalam mengusung calon.
“Masyarakat mulai jenuh dengan penyalahgunaan-penyalahgunaan proses legislasi yang tidak mencerminkan kepentingan umum, mengesampingkan demokrasi, serta memanipulasi hukum dan kebijakan, yang dilakukan oleh para elit politik, termasuk pemerintah, partai politik, lembaga peradilan, maupun lembaga perwakilan rakyat dan penyelenggara pemilu," kata Christina dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2024.
"Putusan MK yang final dan mengikat saja tidak ditaati, tentu saja masyarakat menjadi geram dan memilih untuk terjun langsung ke lapangan,” katanya.
Pada hari ini akan dilaksanakan demonstrasi oleh masyarakat sipil yang berpusat di depan Kantor DPR RI.
Demonstrasi ini ditujukan sebagai kritik atas akan disahkannya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang tidak mengakomodir hasil Putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah sebelumnya.
Christina mengingatkan bahwa demonstrasi adalah bentuk hak konstitusional warga negara Indonesia untuk berekspresi dan berpendapat yang harus dijamin dan dilindungi.
Untuk itu, segala bentuk kekerasan yang dilakukan pada masyarakat sipil peserta demo harus dicegah dan tidak dapat diterima.
"Belajar dari demonstrasi-demonstrasi bersejarah di masa sebelumnya, penting untuk memastikan bahwa korban luka dan korban jiwa harus dicegah dalam demonstrasi kali ini," ujar Christina.
Selain itu, dia berharap aparat keamanan dapat mengamankan kantor DPR dan menjaga keamanan demonstrasi sesuai pada porsinya.
Aparat keamanan juga perlu bisa membedakan mana usaha penjagaan keamanan, mana yang sudah mencelakakan masyarakat sipil dan melanggar hak asasinya untuk tidak disiksa.
Apabila terjadi penangkapan harus dilakukan berdasarkan prosedur hukum acara yang berlaku dan tetap mengedepankan hak asasi dari demonstran yang ditahan. Bantuan hukum tetap harus bisa diakses oleh siapa pun yang ditahan.
"Demokrasi kita sudah di ambang batas, jangan sampai akses keadilan dan kebebasan berekspresi, maupun kebebasan sipil juga dihilangkan," pungkasnya.
Sebelumnya, Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.
Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada hari ini. Pertama, penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.
Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.
Kedua, perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada dengan memberlakukannya hanya bagi partai nonparlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.
Partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.
Saat ini khusus di Jakarta, PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai politik yang tidak memiliki rekan koalisi karena partai politik lainnya bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono pada Pilkada 2024. (ant)