Catatan PDIP Soal Sikap Pemerintah dan DPR Selalu Hormati Putusan MK Karena Bersifat Final
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), I Wayan Sudirta mencatat sejumlah sikap DPR dan Pemerintah yang selalu menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena penerapan asas kepatuhan, harmonisasi, akuntabilitas dan penyelenggaraan negara yang baik dan benar (good governance), serta menegakkan supremasi hukum.
Hal ini menanggapi sikap Badan Legislasi (Baleg) DPR yang melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (RUU Pilkada). Pembahasan tentang RUU Pilkada ini menjadi polemik dan perhatian masyarakat, karena terkait dengan fenomena agenda Pilkada dan adanya Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Sebagai contoh, kata Wayan, dalam Putusan MK mengenai pasal hate speech atau penghinaan di KUHP terhadap kepala negara/penguasa yang telah dibatalkan oleh MK. DPR kemudian menganulir pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden/Wapres atau Pemerintah yang ada dalam RUU KUHP dan menyesuaikannya dengan isi Putusan MK, yakni harus menjadi delik aduan.
"Dalam hal pembentukan omnibus law, lahir Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020," kata Wayan melalui keterangannya pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Selain itu, kata dia, DPR maupun Pemerintah juga menindaklanjuti Putusan MK dengan harmonis. Misalnya, Putusan MK terkait penyadapan, DPR kemudian membentuk tim untuk RUU Penyadapan, mendudukkan KPK atau aparat penegak hukum sebagai cabang eksekutif, menghormati lama jabatan Pimpinan KPK, dan berbagai uji materi lainnya.
"DPR dan Pemerintah dalam pembahasan UU selalu memperhatikan Putusan MK. Selama ini DPR, Pemerintah, maupun seluruh pihak selalu menghormati Putusan MK karena dianggap sebagai “wakil” dari Konstitusi, apalagi putusannya bersifat final dan mengikat," ujarnya.
Dalam berbagai kesempatan pembahasan terkait dengan Putusan MK, Wayan menyebut banyak Ahli Hukum Tata Negara yang menyatakan bahwa Putusan MK berlaku sebagai undang-undang dan mengikat bagi seluruh pihak, termasuk oleh pembentuk undang-undang. Bahkan, dalam ketentuan tentang Pembentukan Perundang-undangan, Putusan MK harus dimasukkan dalam konsideran sebuah undang-undang, karena undang-undang tersebut bisa jadi merupakan tindak lanjut.
"Preseden ini telah berjalan sebagaimana mestinya, meskipun terdapat berbagai perdebatan pada sisi substantif. Pada tataran implementasi, Putusan MK selalu dihormati oleh seluruh pihak. Misalnya, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXII/2023 terkait dengan Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hasil putusannya tetap dijalankan sebagaimana adanya walaupun terdapat banyak perdebatan, hingga ditemukannya pelanggaran etik. Hal ini sesuai dengan asas kepatuhan terhadap hukum dan menghormati putusan peradilan. Banyak ahli menilai bahwa Putusan MK dapat dianulir karena pelanggaran tersebut, namun nyatanya tetap secara ketatanegaraan dijalankan dan dihormati," jelas dia.
Namun, kata Wayan, banyak pihak kemudian mempertanyakan legalitas dan dampak politisnya. Karena menguntungkan sebagian pihak, aturan ini ditindaklanjuti dengan cepat dan responsif. Hal ini mengingatkan pada pernyataan pihak yang sedang berkuasa atau berkepentingan saat itu, yang mengatakan bahwa seluruh pihak harus menghormati Putusan MK, tapi saat ini justru melanggar atau menyimpang dari Putusan MK yang notabene adalah ketentuan.
"Oleh sebab itu, apabila dalam sebuah pembahasan RUU terdapat penyimpangan substansi terhadap Putusan MK, maka hal ini tentu akan menjadi preseden yang buruk dalam kehidupan demokrasi, hukum, maupun ketatanegaraan kita. Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945. Segala warga negara dengan segala kedudukannya, wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Artinya, supremasi hukum merupakan dasar untuk menjalankan sistem pemerintahan yang baik," ujar Anggota Komisi III DPR ini.
Lebih jauh lagi, Wayan menilai dalam hal ini Putusan MK Nomor 60 tersebut tidak mengandung sebuah hal yang melanggar moralitas maupun etika dan nilai-nilai dalam peri-kehidupan berbangsa dan bernegara, yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila dan UUD 1945. Justru, putusan ini dianggap dapat meningkatkan kehidupan demokratis.
"Oleh sebab itu, pengaturan dalam UU Pilkada seharusnya mengikuti dan harmonis dengan Putusan MK. Ketentuan ini selanjutnya akan menjadi cermin kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan otonomi daerah yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia," tegasnya.
Kata dia, pengujian Undang-Undang di MK telah diatur dalam UUD NRI 1945, pengujian konstitusionalitas ini merupakan sebuah ujian undang-undang terhadap kesesuaiannya dengan UUD. Hal ini telah diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan merupakan kewenangan MK. Dalam pasal tersebut, MK mengadili di tingkat pertama dan akhir serta putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).
Ketentuan ini kemudian juga dijabarkan dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020), dan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022). Ketentuan tersebut mengatur bahwa Putusan MK sebagai putusan peradilan merupakan sumber hukum.
"Oleh sebab itu, dalam ilmu ketatanegaraan, Putusan MK mewakili Konstitusi dalam menilai konstitusionalitas dari undang-undang. Konsekuensi logisnya, jika terdapat hal yang menyimpang dari sebuah pengaturan dalam RUU terhadap Putusan MK, maka hal ini tentu membuat isi UU nantinya akan bertentangan dengan Konstitusi. Hasil UU tersebut berpotensi diuji kembali dan dinyatakan batal atau tidak sah. DPR dan Pemerintah kini seharusnya sudah lebih berhati-hati," kata Legislator asal Bali ini.
Tentu, kata Wayan, masyarakat berharap bahwa ketentuan dalam RUU Pilkada tidak kemudian dipolitisasi untuk kepentingan tertentu yang nantinya justru merugikan masyarakat, terutama dalam memilih calon pemimpinnya. Harusnya, lanjut dia, masyarakat diberi keleluasaan dalam memilih dan diberi pilihan yang tepat dalam format kebebasan hak politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan ketentuan perundang-undangan.
Lebih jauh lagi, tidak boleh sebuah undang-undang atau ketentuan dibuat secara parsial atau untuk menguntungkan salah satu pihak, apalagi hanya menjadi bentuk perlawanan terhadap supremasi hukum.
Falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945 yang mendasari aturan perundang-undangan, kata Wayan, telah menjamin bahwa lembaga yudikatif dijalankan secara independen. Bentuk penghormatannya, tentu seluruh pihak harus menghormati dan menjalankan putusan tersebut seperti ketentuan atau undang-undang yang mengikat.
"Sebuah undang-undang tidak boleh bersifat diskriminatif atau menghilangkan persaingan sehat yang merugikan masyarakat. Sebuah ketentuan perundang-undangan haruslah pruden dan tidak menimbulkan permasalahan hukum, atau dalam hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara publik,” katanya lagi.
Menurut dia, sebuah undang-undang harus lahir melalui mekanisme dan proses pembentukan yang benar, prosedural, dan terbuka terhadap partisipasi masyarakat yang luas dan berarti (meaningful participation).
“Pembahasan tidak boleh terkesan terburu-buru atau dipaksakan substansinya. Pembentukan perundang-undangan harus sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan," tegas dia.
Selanjutnya, Wayan mengatakan dalam pembentukan dan pelaksanaan undang-undang, prinsip non-diskriminatif dan mengakui persamaan (equality) sebagai prinsip hukum umum, serta prinsip harmonisasi dengan Konstitusi harus diprioritaskan.
“Oleh sebab itu, dalam ketatanegaraan, sekalipun hak-hak warga negara dibatasi oleh karena undang-undang maupun putusan peradilan, tidak berarti bahwa putusan atau ketentuan tersebut justru bertentangan dengan nilai-nilai bangsa yang menghargai kehidupan demokratis, menjunjung tinggi HAM, berkeadilan, dan berkepastian hukum,” ujarnya.
Untuk memastikan ini terdapat pula mekanisme pengujian undang-undang terhadap Konstitusi yang kewenangannya dijalankan oleh MK, dan semua harus tunduk pada ketentuan tersebut. Inilah bentuk ideal dari sebuah negara hukum yang demokratis dan konstitusional.
“Masyarakat nantinya dapat menilai sendiri, jika terdapat sebuah undang-undang yang bertentangan dengan Konstitusi, putusan peradilan yang sah dan mengikat, maupun nilai-nilai dalam ketatanegaraan dan ilmu perundang-undangan. Penyelenggaraan negara dan implementasi undang-undang haruslah sama (equal) dan tidak diskriminatif hanya kepada kelompok tertentu atau sebagian kecil masyarakat, yang nantinya menimbulkan citra negatif dari lembaga atau sistem hukum itu sendiri," pungkasnya.