Pakar Bilang DPR Mestinya Dengarkan Suara Rakyat soal Ambang Batas Pencalonan di Pilkada

Rapat Baleg DPR RI membahas pengesahan RUU Pilkada
Sumber :
  • Antara

Surabaya, VIVA – Pakar politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam mengatakan, sebagai wakil rakyat, DPR semestinya mendengarkan suara rakyat terkait ambang batas pencalonan pada pilkada. Bukan malah mengubah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang justru memperlihatkan hal tidak elok di mata publik.

Pramono Yakin Dukungan Anies dan Anak Abah Bisa Tekan Angka Golput di Pilgub Jakarta

Seperti diketahui, Baleg DPR menyepakati sebagian pasal di RUU Pilkada dan mengubah putusan MK yang diketok pada Selasa, 20 Agustus 2024. Dalam putusannya, MK menurunkan prosentase syarat pencalonan pilkada oleh partai politik pengusung yang memperoleh kursi di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.

Ilustrasi Pemilu 2024.

Photo :
  • VIVA
Pilkada Bandung Barat, Elektabilitas Jeje Govinda dan Hengky Kurniawan Bersaing Ketat

Sehari setelah putusan MK, Rabu, 21 Agustus 2024, Baleg DPR menyepakati bahwa putusan MK hanya berlaku untuk partai politik nonparlemen di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara partai yang memperoleh kursi tetap menggunakan syarat 20 persen. Informasinya, kesepakatan itu akan diparipurnakan pada Kamis, 22 Agustus 2024, untuk disahkan menjadi undang-undang.

“Kita merespons di Pasal 40 tentang syarat pencalonan. Syarat pencalonan tadi mufakat, yang mempunyai kursi di DPR, DPRD, kabupaten/kota maupun provinsi, syaratnya kalau dihitung dengan jumlah kursi, tetap 20 persen [yang] bisa mencalonkan [paslon kepala daerah],” kata anggota Baleg DPR RI dari PAN, Yandri Susanto.     

Lagi, Jokowi Endorse Paslon Respati-Astrid dengan Blusukan di Proyek Rel Layang Warisan Gibran

Segera setelah Baleg menyepakati itu, masyarakat secara serentak melancarkan kritik, di antaranya dengan memposting alert Indonesia Darurat dengan simbol lambang Garuda berwarna biru. Warga menyatakan menolak atas keputusan Baleg DPR RI tersebut dan menganggap kesepakatan tersebut menggerus demokrasi.

Kalangan akademisi dan sebagian besar aktivis juga mengkritik keputusan legislator yang sejatinya menjadi mewakili rakyat itu. “DPR harus bisa mendengar dengan baik apa yang dirasakan publik. Kepekaan ini saya pikir penting agar DPR bisa mendapat tempat terhormat di mata publik,” kata Surokim kepada VIVA.

Surokim menilai, kesepakatan yang diambil Baleg DPR RI terkait ambang batas pencalonan tersebut seperti aksi piting-memiting oleh aktor-aktor politik dengan menggunakan jurus saling mengunci. Menurutnya, itu bisa membuat hal yang tidak rumit menjadi rumit gara-gara Baleg DPR. Bahkan DPR terkesan seperti bocah yang mengambek.

“Baleg DPR ini sedang memancing di air yang tenang dan dibuat keruh. Ini [imbasnya pilkada] bisa molor, nanti aturan-aturan teknisnya bisa bikin pusing KPU juga kalau begini terus,” ujar peneliti senior Surabaya Survey Center itu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya