MK: Syarat Usia Dihitung saat Penetapan Cagub

Ketua MK Suhartoyo memimpin sidang panel 1 gugatan Pileg di Mahkamah Konstitusi
Sumber :
  • Tangkapan layar MK

Jakarta, VIVA - Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pengubahan penentuan syarat usia minimum dalam UU Pilkada. Tapi dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa syarat usai calon kepala daerah harus dihitung saat penetapan pasangan calon.

Saldi Isra dan Arief Hidayat Dilaporkan ke MKMK atas Dugaan Pelanggaran Etik

Demikian ketetapan tersebut tertuang dalam putusan nomor 70/PUU-XXII/2024. Gugatan itu diajukan oleh Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Fahrur Rozi, dan mahasiswa Podomoro University, Anthony Lee. 

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Gedung MK, Selasa, 20 Agustus 2024.

Dugaan Kecurangan di Pilkada Jayawijaya Dilaporkan ke MK

Warga menentukan pilihannya dalam Pilkada. (ilustrasi)

Photo :
  • ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Pada putusannya, MK juga membandingkan aturan di Pilkada Serentak 2024 dengan pemilihan lainnya. Sebab, terdapat perbedaan perlakuan penghitungan syarat usia bagi calon kepala daerah dengan calon anggota legislatif dan calon presiden-wakil presiden.

KPU: Idealnya Kepala Daerah Dilantik Setelah 13 Maret 2025

MK menyatakan harus ada penegasan kapan KPU menentukan usia kandidat memenuhi syarat atau tidak. MK lantas menegaskan usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus ditentukan pada saat penetapan.

"Berkenaan dengan ini, penting bagi Mahkamah menegaskan titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Lenih jauh MK mengatakan norma pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada itu sudah jelas dan terang. Karena itu, MK menyatakan tidak perlu ada penambahan makna apapun.

Ilustrasi Pilkada.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

"Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis dan praktik selama ini, dan perbandingan, pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10 tahun 2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cheto welo-welo, sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon," kata Hakim Saldi Isra.

MK menegaskan pertimbangan dalam putusan ini mengikat pada semua penyelenggara Pemilu dan warga. 

MK mengatakan calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur UU, maka calon itu dapat dinyatakan tidak sah oleh MK dalam sidang sengketa hasil Pilkada.

"Persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon," kata hakim Saldi.

Kendati begitu, MK menolak menambahkan pemaknaan baru terhadap pasal tersebut. MK menyebut penambahan pemaknaan dapat menimbulkan permasalahan hukum lain pada syarat-syarat yang telah diatur dalam UU Pilkada.

"Bilamana terhadap norma pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10 tahun 2016 ditambahkan makna seperti yang dimohonkan para pemohon, norma lain yang berada dalam rumpun syarat calon berpotensi dimaknai tidak harus dipenuhi saat pendaftaran, penelitian dan penetapan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya