Pidato 'Tepi Jurang' Puan Maharani di Depan Jokowi 

Ketua DPR RI Puan Maharani
Sumber :
  • TV Parlemen

Jakarta, VIVA – Pidato pengantar Ketua DPR RI Puan Maharani dalam Sidang Bersama DPR dan DPD di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2024, menuai sorotan. 

Budi Gunawan Minta Usulan KPU jadi Badan Ad Hoc Dikaji Lebih Dalam

Puan yang tampil anggun dengan kebaya emas itu menyampaikan pidato pengantar sebelum pidato kenegaraan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pidato yang dihadiri ribuan orang itu disampaikan dengan lugas, dengan pilihan materi 'tepi jurang'.

Bukan tanpa alasan ia begitu disorot dalam Sidang Tahunan MPR RI 2024. Putri Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri itu mengawali pidatonya dengan mengungkit proses pemilu 2024.

Eks Wantimpres Kecewa, Bilang Harusnya Jokowi Jadi Negarawan saat Pilkada

Tak lupa, politikus PDIP itu juga menyampaikan ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Pun dengan para anggota legislatif terpilih 2024. 

Berikut rangkuman pidato 'tepi jurang' Puan Maharani di Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2024:

Jokowi Bertemu Kiai Khos NU Jawa Tengah di Solo Jelang Pencoblosan Pilkada, Ada Apa

Ketua DPR RI Puan Maharani dalam Sidang Tahunan 2024 MPR bersama DPR dan DPD

Photo :

1. Apakah Pemilu Sudah Jujur dan Adil?

Puan mengatakan Pemilu 2024 sudah selesai. Bagi yang menang pemilu, semua hal menjadi indah untuk dikenang. sementara bagi yang belum berhasil, merasa serba sulit; sulit makan, sulit tidur, bahkan ada yang sulit untuk bangkit kembali.

Puan menilai potret Pemilu 2024 haruslah menjadi kritik dan otokritik bagi bangsa Indonesia. Rakyat telah menggunakan hak kedaulatannya dan memberikan pilihannya -- rakyat telah menilai dan memilih.

Menurutnya, rakyat tidak dapat disalahkan atas pilihannya, apapun yang mendasari pertimbangannya. Rakyat memilih atas dasar apa yang diketahui dan dipahaminya, terlepas dari kualitas atas apa yang diketahui dan dipahaminya.
 
Pengalaman demokrasi sudah panjang. Pemilu telah dilaksanakan berkali-kali, bahkan sebelum era reformasi pemilu juga sudah dilaksanakan, dan rakyat juga memberikan pilihannya melalui pemilu. Apakah pemilu saat itu memenuhi syarat-syarat pemilu yang bebas, jujur dan adil? Silakan dijawab.

2.  Etika Politik dan Kedaulatan Rakyat

Menurut Puan, Pemilu yang berkualitas tidak dapat hanya dilihat dari partisipasi rakyat dalam memilih. Akan tetapi harus dilihat dan dinilai juga dari Kebebasan rakyat untuk memilih, yaitu apakah rakyat dapat memilih dengan bebas, jujur, adil, tanpa paksaan, tanpa dikendalikan, dan tanpa rasa takut.

"Kita semua memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga dan menciptakan demokrasi yang berkualitas, semakin maju, beradab dan mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya

Menang kalah selalu ada dalam pemilu. Namun, semua dituntut untuk memiliki etika politik siap kalah dan siap menang. Siap bertanding, siap juga untuk bersanding. 

Etika politik yang sama juga menuntut pemilu dilaksanakan dengan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menjalankan kedaulatannya. 

Dalam Pemilu, seharusnya rakyatlah yang jadi pemenang: Sehingga berlaku adagium: "Suara rakyat adalah suara Tuhan" (Vox Populi, Vox Dei)

3. Negara Bukan untuk Satu Orang

Presiden Jokowi

Photo :
  • Tangkapan layar Youtube

Puan mengutip prinsip yang dikatakan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945, yaitu bahwa demokrasi kita adalah permusyawaratan yang memberi hidup, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu. “All for one; One for All"

Selain itu, Puan menilai seorang Negarawan, akan memikirkan masa depan negara, yang harus lebih baik; sedangkan Politisi, akan memikirkan masa depan hasil pemilu, yang harus lebih baik.  

"Visi tanpa kekuasaan menjadi sia-sia, kekuasaan tanpa visi menjadi sewenang-wenang,"  

4. Krisis Negarawan

Oleh karena itu, untuk menjalankan praktek politik kekuasaan, dalam sistem pemerintahan presidensial, dengan keseimbangan cabang-cabang kekuasaan, maka Indonesia membutuhkan Negarawan yang politisi dan Politisi yang negarawan, sehingga kekuasaan negara dijalankan untuk kebaikan yang lebih besar; bukannya untuk membesarkan diri sendiri, kelompok, maupun kepentingan tertentu.

Demokrasi juga memberikan ruang kepada rakyat ikut melakukan fungsi kontrol sosial, baik melalui media massa, media elektronik, media sosial, kerja-kerja LSM, pemikiran-pemikiran akademisi, kerja-kerja ormas, dan lain sebagainya, yang bertujuan agar kekuasaan yang berasal dari rakyat digunakan sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat.

"Mewujudkan demokrasi yang sejati, bukanlah jalan yang mudah, karena itu jalan yang sulit dilalui. Mungkin saja kita terhenti sejenak, tetapi kita tidak boleh mundur; karena tujuan kita mulia; tujuan sejak negara ini didirikan yaitu Indonesia untuk semua, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur," 

5. Medsos Bikin Orang Jahat Kelihatan Baik

Presiden RI JokowI di sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR-DPR 2024.

Photo :
  • Istimewa

Puan mengatakan dalam praktek berdemokrasi di Indonesia, saat ini berkembang juga demokrasi deliberatif yaitu demokrasi berwacana. Media sosial menjadi salah satu kekuatan utama dalam demokrasi wacana, membangun opini dan persepsi. 

Melalui media sosial, dapat diciptakan berbagai persepsi: Persepsi mengangkat citra seseorang, persepsi yang merendahkan seseorang, bahkan orang yang baik dapat dipersepsikan menjadi orang yang jahat. 

Begitu juga sebaliknya orang yang jahat dipersepsikan menjadi orang yang baik. Orang yang salah menjadi orang yang benar. Orang yang benar menjadi orang yang salah.

Demokrasi wacana bukanlah kebebasan tak terbatas. Batas dari hak setiap warga negara di dalam negara demokratis adalah menjamin hak warga negara yang lain sama pentingnya. Hak warga negara dibatasi oleh hak warga negara yang lainnya. 

6. 'No Viral No Justice'

Puan mengatakan berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat, semakin membutuhkan kehadiran negara; ketika negara terlambat atau tidak responsif, rakyat mengambil inisiatifnya sendiri dengan mem-viralkan di media sosial; No Viral, No Justice.
 
Baginya, menjadi tanggung jawab bersama, lembaga kekuasaan negara, DPR RI, DPD RI, Pemerintah Pusat dan Daerah, MA, MK, TNI, POLRI, untuk dapat menjalankan kekuasaan negara secara efektif, responsif, cepat, memperhatikan rasa keadilan, rasa kepatutan, dalam menangani setiap urusan rakyat. Sehingga rakyat merasakan kehadiran Negara.

"Kehadiran negara jangan menunggu "Viral For Justice". Kehadiran negara adalah hadirnya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat," 

  
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya