Antisipasi Perang Generasi Kelima, Bamsoet Ingatkan Pemerintah Insiden 'Blue Screen of Death'
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengingatkan pentingnya Indonesia segera memiliki Undang-Undang Keamanan Siber, demi memperkuat ketahanan siber negara dari potensi serangan siber.
Hal itu, kata dia, sebagai upaya menghadapi pesatnya perkembangan teknologi digital yang dapat mengancam keamanan, pertahanan dan kedaulatan Indonesia, bahkan potensi munculnya peperangan siber di dunia digital.
"Insiden 'blue screen of death' (layar biru kematian) beberapa hari lalu harus menjadi perhatian pemerintah dan DPR untuk memperkuat keamanan siber Indonesia," kata Bamsoet sapaan karibnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu, 24 Juli 2024.
Bamsoet menyinggung insiden gangguan IT global "layar biru kematian" yang muncul pada komputer Windows itu berdampak terhadap 8,5 juta perangkat komputer pengguna sistem tersebut pada Jumat (19/7), sebagaimana laporan perusahaan keamanan siber asal Amerika Serikat (AS), CrowdStrike.
"Sejumlah layanan publik di berbagai negara juga mengalami gangguan serentak secara massal sehingga mengakibatkan kerugian material dan immaterial yang tidak sedikit," ujarnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, dia menilai Indonesia masih rentan dengan serangan siber, seperti malware, ransomware, phishing, dan serangan DDoS. Misalnya, server Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) terkena serangan siber berjenis ransomware yang mengakibatkan lebih dari 40 kementerian/lembaga di Indonesia terdampak pada Juni lalu, dan peretas meminta tebusan 8 juta dolar AS (sekitar Rp131 miliar).
Kelompok peretas tersebut, dia mengingatkan, juga pernah berhasil melumpuhkan sistem Bank Syariah Indonesia serta mencuri data nasabah dan mengunggahnya di darkweb pada Mei 2023.
"Ransomware tersebut adalah pengembangan terbaru dari ransomware Lockbit 3.0, LockBit 3.0 sendiri merupakan kejahatan terorganisasi ransomware yang memiliki motivasi uang. Kelompok ini menyebarkan 928 postingan leak sites atau 23 persen dari keseluruhan serangan di dunia, termasuk di Asia Pasifik," katanya.
Dia mengatakan Indonesia juga menempati posisi kedelapan negara di dunia dengan jumlah kasus kebocoran data tertinggi di internet, serta menjadi negara dengan tingkat pembobolan data terbanyak se-Asia Tenggara.
Bahkan, kata dia, laporan perusahaan keamanan siber Kaspersky mencatat sepanjang Januari hingga Maret 2024 terjadi hampir 6 juta ancaman serangan siber di Indonesia.
"Indeks pertahanan siber Indonesia juga masih sangat lemah, berada di kisaran 3,46 poin, jauh dari indeks rata-rata global sebesar 6,19 poin. Sebagai data pembanding, National Cyber Security Index (NCSI) juga mencatat nilai keamanan siber di Indonesia sebesar 64 persen, menempati urutan ke-47 secara global," tuturnya.
Bamsoet menambahkan bangsa Indonesia harus bersiap pula untuk mengantisipasi dampak yang timbul dari perang generasi kelima, yakni perang siber.
"Melalui serangan siber, sebuah negara bisa membuat jaringan telekomunikasi dan internet di negara lain mati total, digital perbankan kacau, radar militer maupun penerbangan sipil tidak bisa digunakan," ucapnya.
Dia mengingatkan potensi kekuatan siber yang mengendalikan suatu negara dari jauh dan dapat melumpuhkan objek vital negara lainnya, seperti pembangkit listrik, cadangan minyak, hingga operasional alat utama sistem senjata (alutsista) militer.
"Bahkan bukan tidak mungkin, alat tempur yang kita miliki, bisa dikendalikan dari luar negeri untuk melakukan serangan ke negara kita sendiri," ujar dia. (ant)