Uang Lebih Banyak Menentukan dalam Proses Politik Kepemiluan RI, Menurut Pengamat
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) Fathorrahman Fadli menilai, adanya politik sekularisasi di tengah-tengah Umat Islam di Indonesia.
"Politik kita memang sedang berjalan tanpa nilai-nilai, uang lebih banyak berbicara dan menentukan dalam proses-proses politik kepemiluan," katanya di Jakarta, Jumat, 7 Juni 2024.
Pendapat itu disampaikan Fadli menanggapi merosotnya suara partai berbasis Islam pada Pemilu 2024.
Hasil perolehan suara Pemilu 2024 yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan partai berbasis Islam mendapatkan 46.886.819 suara atau 30,89 persen. Jumlah itu didapatkan dari total suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Ummat, dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Secara akumulasi, pemilih partai berbasis Islam tersebut lebih banyak dari Pemilu 2019 yang hanya 42.059.378 suara atau 30 persen.
Sementara, hanya tersisa tiga partai berbasis Islam, yakni PKB, PKS, dan PAN, yang berhasil lolos ke parlemen. PPP sebagai salah satu partai tertua gagal memenuhi ambang batas minimal parlemen karena hanya mendapat 3,87 persen suara nasional. Padahal, untuk lolos, partai harus mendapatkan sedikitnya 4 persen suara nasional.
Ia menjelaskan, proses politik yang ada tersebut dikarenakan kondisi ekonomi rakyat yang sulit atau memang dibuat sulit. Dengan kondisi kesulitan ekonomi itu, maka uang sebagai alat tukar untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat menjadi pilihan.
"Masyarakat memang dibuat tidak berdaya secara ekonomi, lalu kemudian elite politik yang berduit, membeli suara mereka dengan uang. Ketika itu terjadi, maka nilai-nilai prinsipil dalam agama seperti tertelan banjir, buyar," katanya menegaskan.
Kata dia, kenyataan politik itu sejatinya ada yang merancang sejak lama. Hasilnya sedang dipetik saat ini. Masyarakat Indonesia, menurutnya, telah memasuki babakan baru sebagai masyarakat sekuler yang tidak malu-malu menyatakan bahwa praktik kehidupan politik adalah terpisah dengan kehidupan agama mereka.
Selain itu, tidak lagi menjadi alat untuk memandu mereka dalam memilih, siapa calon yang akan mewakilinya dan partai apa yang akan mereka pilih.
"Jadi, memang agama yang mereka anut ternyata tidak mampu menyadarkan mereka dalam memilih partai atau calon wakilnya di parlemen. Di sinilah eksistensi nilai-nilai agama pada diri warga negara menjadi pertanyaan besar," katanya. (ant)