Banggar DPR Catat Sederet Program yang Harus Dilanjutkan Prabowo
- DPR RI
Jakarta - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah mengatakan ada sejumlah agenda strategis yang harus dilanjutkan oleh Pemerintahan Presiden terpilih, Prabowo Subianto periode 2024-20249 mendatang. Sehingga, kata dia, mempermudah pemerintahan Prabowo melakukan penyesuaian untuk pelaksanaan program-program strategis.
Menurut dia, ketegangan geopolitik telah menjelma menjadi ancaman laten aktivitas ekonomi. Karena hal itu, dalam sekejap harga komoditas global bisa melonjak, kurs rupiah terhempas dalam hitungan jam dan hari.
“Gejolak eksternal makin sulit kita prediksikan. Dalam sekejap pula, merambat, menekan ketahanan ekonomi nasional. Tekanan eksternal ini mengancam karena belum kuatnya sektor pangan, energi, dan tata kelola devisa,” kata Said di Jakarta pada Rabu, 5 Juni 2024.
Di dalam negeri, Said mengatakan Indonesia menghadapi hempasan angin buritan. Hempasannya tidak mendorong ekonomi nasional, malah menjebak perekonomian nasional dalam pusaran yang nyaris tak berujung. Booming harga komoditas di tahun 2022, lanjut dia, kian memperkaya lapisan ekonomi atas, kesenjangan sosial kian menganga.
“Angka kesenjangan sosial kian melebar. Semester 1 tahun 2024, gini rasio telah menyentuh 0,388 lebih tinggi dibandingkan semester 1 tahun 2023 yang berada di level 0,384. Kita bandingkan dengan tahun 2019, sebelum pandemi COVID-19, angka gini rasio saat itu di level 0,380. Kue kemakmuran harus dinikmati bersama, kecenderungan naiknya kesenjangan sosial ini harus dikendalikan oleh pemerintah,” ungkapnya.
Selain itu, kata dia, seluruh agenda pembangunan yang dijalankan selama ini belum mampu mengangkut seluruh rakyat keluar dari lembah kemiskinan ekstrim. Padahal, pemerintah punya target penghapusan kemiskinan esktrim di tahun 2024. Konvergensi program atas penghapusan kemiskinan ekstrim telah dijalankan.
“Jika realisasinya hingga 2024 penghapusan kemiskinan ekstrim belum tuntas, kita fasilitasi melalui RAPBN 2025 agar pemerintah tetap bisa menuntaskannya,” jelas Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan (PDI) ini.
Menurut dia, hempasan angin buritan membuat perekonomian nasional terjebak dalam pusaran pertumbuhan lima persenan. Padahal, lanjutnya, yang dikejar waktu untuk bisa naik kasta menjadi negara maju di 2045. Momentumnya dengan memanfaatkan secara optimal bonus demografi yang akan berakhir di tahun 2036.
“Alih-alih memanfaatkan bonus demografi secara optimal, dukungan anggaran pendidikan 20 persen dari belanja negara belum mampu mengubah rakyat menjadi tenaga kerja terampil, penuh inovasi, dan punya etos kerja tinggi. Lebih dari separuh angkatan kerja masih lulusan SMP. Tentu saja, keadaan ini tidak bisa kita andalkan untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja yang makin kompetitif,” jelas dia.
Kata Said, tidak kalah pentingnya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia ke depan adalah persoalan stunting. Hal ini terkait dengan masa depan generasi bangsa. Target angka prevalensi stunting ke depan masih cukup menantang, yakni 14,0 persen pada tahun 2024.
“Pada tahun 2023 masih berada pada angka 21,5 persen. Jika target prevelensi sebesar 14,0 persen beum juga tercapai, maka diperlukan upaya extraordinary, yang meliputi pendekatan spasial untuk daerah fokus intervensinya,” katanya.
Selanjutnya, Said menyebut pembangunan infrastruktur dan hilirisasi belum mampu mengubah haluan ekonomi, untuk menavigasikan ekspor kita lebih bernilai tinggi. Tingkat investasi untuk menghasilkan barang/jasa belum efisien. ICOR kita tahun 2014 tercatat 5,5.
“Setelah hampir sepuluh tahun kita menggelorakan pembangunan infrastruktur, skor ICOR kita malah naik di kisaran 6,5 tahun 2023. Padahal negara negara peers, seperti Malaysia di angka 4,5, Thailand 4,4, Vietnam 4,6, dan Filipina bahkan jauh lebih rendah 3,7,” ucapnya.
Tentu, Said berharap hilirisasi menjadi titian tangga sebagai negara industri. Catatan dari LPEM UI, hampir sepuluh tahun terakhir rata-rata nilai tambah manufaktur sekitar 39,12% hingga tahun 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri itu 43,94%, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu 41,64%.
“Situasi ini menjadi tanda deindustrialisasi dini, oleh sebab itu pemerintah harus mewaspadai hal ini. Hilirisasi harus menjadi haluan baru kebijakan ekspor dan pengelolaan devisa. Selama ini ekspor bahan mentah, lalu kita beli lagi ketika menjadi barang jadi, dan puluhan tahun kita lakukan ini. Kita juga belum merasakan manfaat devisa atas hasil ekspor. Mereka mengambil kekayaan alam kita, namun memarkir devisanya ke luar negeri. Pimpinan Banggar DPR mendukung Pemerintah lebih tegas dan berani mengubah tata kelola devisa untuk kepentingan nasional,” kata Said lagi.
Di samping itu, agenda untuk memperkuat kemandirian pangan dan energi yang dicanangkan sejak Nawacita 1 juga belum mampu diraih. Food trade deficit beberapa tahun ini makin dalam, dimulai sejak 2007 hingga kini. Bahkan, tahun lalu food trade deficit menyentuh 5,3 miliar USD, tertinggi dalam sejarah republik.
Demikian halnya sektor energi, kata dia, tingkat konsumsi minyak bumi sejak 2003 hingga kini lebih besar dengan produksi dalam negeri. Tahun lalu, lanjutnya, tingkat konsumsi minyak bumi lebih dari 1 juta barel per hari, sementara kapasitas produksi dalam negeri hanya 600an ribu barel per hari, itupun sebagian hak kelolaan perusahaan minyak asing.
“Pimpinan Banggar DPR berharap problem fundamental diatas menjadi atensi pemerintah, dan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Ekonomi Makro serta Pokok Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2025,” pungkasnya.