Kritik Putusan MA soal Batas Usia, Mahfud: Muncul Istilah Mahkamah Kakak dan Menangkan Adik

Cawapres 02 Mahfud MD di sidang sengketa pilpres
Sumber :
  • Tangkapan layar Youtube MK

Jakarta - Pakar hukum tata negara, Mahfud MD mengatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia kepala daerah membuat kacau. Pasalnya, dalam tata hukum putusan MA mengikat, sehingga KPU tidak bisa menghindar walaupun secara kewenangan salah.

"Oleh sebab itu, ini bukan hanya cacat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum. Kalau berani lakukan saja ketentuan Pasal 17, UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan setiap putusan yang cacat moral saja, apalagi cacat hukum, tidak usah dilaksanakan," kata Mahfud dikutip dari podcast 'Terus Terang' di kanal YouTube Mahfud MD Official, Rabu, 5 Juni 2024.

Gedung Mahkamah Agung

Photo :
  • ANTARA FOTO

Menko Polhukam periode 2019-2024 itu juga mengkritik pernyataan mantan hakim agung, Gayus Lumbuun, yang menyebut ini tinggal dibicarakan ke DPR. Padahal, tidak bisa karena DPR sendiri sudah ada dalam UU soal syarat 30 tahun saat mendaftar.

Ia menilai, kecurigaan masyarakat memang menjadi konsekuensi logis dari tindakan-tindakan selama ini yang dilakukan melalui eksekutif atau yudikatif. Yang mana, kata dia, cacat, melanggar etik berat, sehingga membuat masyarakat mengasosiasikan ini jadi curiga.

"Sehingga, timbul Mahkamah Kakak (MK), Mahkamah Anak (MA), Menangkan Kakak (MK), Menangkan Adik (MA), muncul berbagai istilah itu, itu konsekuensi, jadi bahan cemoohan di publik, sehingga kita pun malas lah mengomentari kayak gitu-gitu, biar nanti busuk sendiri, ini sudah busuk, cara berhukum kita ini sudah busuk sekarang," ujar Mahfud.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu mengaku sudah berdiskusi bersama ahli-ahli hukum soal cara memperbaiki cara berhukum karena kebusukan sudah di semua lini dan tidak mendapat jawaban. Namun, Mahfud mengaku masih memiliki harapan.

"Kalau saya masih punya harapan, mudah-mudahan nanti kalau sudah dilantik Pak Prabowo melakukan perubahan-perubahan yang bagus, itu akan membantu bagi pemerintah, akan membantu bagi Pak Prabowo kalau hukum ditegakkan dengan benar," katanya.

Selain itu, Mahfud menerangkan, kejadian ini merupakan contoh rule by law, ketika keinginan sekelompok orang ditempuh melalui cara-cara seperti ke MA. Menurut Mahfud, biarkan saja cara berhukum kita yang sudah rusak ini berjalan.

Sebab, ia menekankan, mau tidak dilaksanakan itu sudah menjadi putusan MA, tapi mau dilaksanakan putusan MA itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU) dan kewenangannya. Sementara, MA yang seharusnya meluruskan ini malah bungkam.

Pakar Hukum Soroti Calon Kepala Daerah Sudah Dua Periode Maju di Pilkada 2024

"Apa yang mau dilakukan, saya tidak tahu apa yang harus dilakukan, ini berhukum kita sudah rusak, biar saja jalan kan nabrak sendiri, saya tidak tahu caranya," kata Mahfud.

Mahkamah Konstitusi

Photo :
  • vivanews/Andry Daud
MK: Pejabat Daerah dan TNI/Polri Tak Netral di Pilkada Bisa Dipidana

Terkait sosok hakim-hakim MA, Mahfud mengaku tidak terlalu mengenal rekam jejak, karir dan kemampuan akademis mereka. Tapi, Mahfud merasa, putusan itu memang aneh dibuat hampir bersamaan dengan pembebasan mantan hakim, Gazalba Saleh.

Meski begitu, Mahfud mengaku tetap akan menaruh harapan pada pemerintahan baru Prabowo Subianto yang dalam waktu dekat akan dilantik. Ia berharap, pemerintahan Prabowo Subianto mampu memperbaiki kacau balau cara berhukum kita belakangan.

MK: Pilkada Ulang Digelar Paling Lama 1 Tahun Setelah Kotak Kosong Menang

"Untuk memperbaiki, kita berharap bisa memulai dengan itu, kalau tidak ya rusak ke depan, akhirnya menjadi negara hukum rimba," ujar Mahfud.

Ilustrasi pilkada serentak 2024

Mahasiswa Minta Pemerintah Tindak Oknum Tak Netral di Pilkada Sesuai Putusan MK

MK memutuskan pejabat daerah serta TNI/Polri dapat dijerat hukuman pidana apabila melakukan cawe-cawe atau melanggar netralitas dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada

img_title
VIVA.co.id
22 November 2024