Politisi Golkar Misbakhun Raih Gelar Doktor Ekonomi, Disertasi soal Peran DPR RI Masa Pandemi Covid

Politisi Golkar Mukhamad Misbakhun Lulus Doktor Universitas Trisakti
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta – Gelar doktor ilmu ekonomi dari Universitas Trisakti, berhasil disandang oleh anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun.

SK Kepengurusan Bahlil di Golkar Sudah Final, Idrus Marham Minta Kader Bersatu Lagi

Raihan itu dicapai setelah politikus Partai Golkar itu mempertahankan disertasinya yang berjudul "Telaah Kebijakan Publik atas Peran DPR Mengintegrasikan Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Postur APBN untuk Penanganan Pandemi Covid-19". Ia berhasil meraih hasil cum laude.

Sidang terbuka atas disertasi Misbakhun digelar di Gedung S Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FB) Usakti di Jakarta Barat, Selasa 4 Juni 2024.

Dorong Partisipasi Kelompok Rentan di Pilkada 2024, Setara Institute Beri 8 Rekomendasi

Bertindak sebagai promotor bagi Misbakhun ialah Prof. Muhammad Zilal Hamzah, Prof Muliaman D Hadad (co-promotor I), dan Prof. Dr. Eleonora Sofilda (co-promotor II). Adapun tim pengujinya diketuai Dekan FB Usakti Prof. Dr. Yolanda Masnita Siagian.

Sebagai promovendus, Misbakhun memulai dengan menguraikan pandemi penyakit Covid-19. Dimana itu menjadi bencana global. Efek pandemi yang sebenarnya adalah masalah Kesehatan tetapi berdampak juga pada perekonomian.

Isu Kelompok Rentan Mesti Bisa Dipertimbangkan Cagub dalam Programnya Jika Menang Pilkada

Menurut Misbakhun, pemerintah menggulirkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian. Lebih lanjut, mantan pegawai Dirjen Pajak itu mengatakan PEN memerlukan integrasi kebijakan fiskal dan moneter.

“Inisiatif sinergi kebijakan tersebut bergulir dari DPR dengan apa yang dikenal sebagai burden sharing (pembagian beban),” kata Misbakhun.

Berawal dari itu, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter, jelas dia, mengakomodasi kebutuhan pembiayaan fiskal pemerintah yang membengkak akibat defisit besar pada APBN. Independensi BI sebagai bank sentral, jelas dia, tetap dikedepankan.

BI pun membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah. Dengan demikian, pemerintah memiliki ruang fiskal cukup untuk membiayai PEN.

Lebih lanjut dijelaskannya, dalam hal itu DPR RI sebagai pembuat UU turut mengambil peran dalam pembuatan kebijakan. Yakni dengan integrasi kebijakan fiskal dan moneter. Sekaligus melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap penggunaannya.

“Peran DPR sangat krusial dalam memberikan legitimasi atas pembelian SBN oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter melalui persetujuan atas Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sehingga menjadi dasar legislasi dalam UU Nomor 2 Tahun 2020,” kata Misbakhun.

Kolaborasi pemerintah, BI dan DPR RI tersebut, membuat Indonesia mampu menangani pandemi Covid-19 dengan sangat baik. Bahkan satu diantara lima negara di dunia. Misbakhun menyebut ada dua kunci keberhasilan tersebut, yakni state capacity dan social trust.

Tapi dalam kerja penanganan yang demikian, dia melihat peran DPR RI dalam perumusan kebijakan strategis terpinggirkan. Walau DPR telah memberi kepastian hukum dalam bauran kebijakan dari otoritas fiskal dan moneter dengan memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

“Peran DPR dalam mengintegrasikan kebijakan fiskal dan moneter melalui kebijakan burden sharing selama pandemi Covid-19 ialah memberi kepastian hukum, legitimasi politik, juga menyetujui perpu yang diajukan presiden,” jelasnya.

Maka dari itu, ada sejumlah rekomendasi yang dimasukkan dalam disertasinya. Terutama inisiatif DPR dalam mengintegrasikan kebijakan fiskal dan moneter harus diperluas dalam berbagai situasi yang membutuhkan legitimasi politik.

“DPR harus memainkan peran sebagai lembaga yang mengagregasi berbagai kekuatan dan aspirasi politik,” ujarnya.

Selain itu, Misbakhun juga merekomendasikan protokol penanganan krisis ekonomi akibat faktor-faktor non ekonomi yang berpotensi muncul di masa mendatang. 

"Utamanya melalui mekanisme hukum atau emergency law,” katanya.

Penelitian ini dilakukan juga dengan wawancara mendalam terhadap sejumlah narasumber yang kompeten. Yakni mereka yang punya kapasitas dalam sektor fiskal maupun moneter. Juga mereka yang terlibat langsung dalam perumusan kebijakan penanganan ekonomi di masa pandemi, yakni Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah, Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie OPF, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad.

Selain itu, Misbakhun juga memperkuat disertasinya dengan analisis para ekonom dan pengamat, antara lain, Maria Gonzalez dari Dana Moneter Internasional (IMF), Piter Abdullah Redjalam (Segara Institute), Prof. Shin Jin Kyo dan Jae-Hyeok Choi Ph.D dari Kimyung University, serta Sekretaris Ekonomi dan Perdagangan Kedutaan Besar India di Jakarta Ms. Malvika Priyandarshini.

Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Sebagai penguji tersebut menyinggung dua hal yang bisa diambil dari penanganan krisis ekonomi saat pandemi itu. Yaitu pemberian keleluasaan kepada pemerintah untuk menentukan ruang fiskal dan kebijakan tentang BI membeli surat berharga di pasar primer.

Bambang yang pernah menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional tersebut beranggapan kebijakan tersebut sebenarnya tidak lazim di masa normal.

“Pelajaran berharga apa dari penanganan Covid dari dua indikator itu dalam kondisi kita ke depan?” tanya Bambang.

Menjawab itu, Misbakhun mengatakan Indonesia bukan sekali saja menghadapi krisis. Pernah dua kali melanda bangsa ini yakni krisis ekonomi pada 1998 dan juga pada tahun 2008. 

Krisis pada 1998, kata Misbakhun, melahirkan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selanjutnya, krisis pada 2008 melahirkan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Adapun krisis akibat pandemi Covid-19 mendorong pemerintah dan DPR membuat UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. (UU P2SK). UU tersebut, jelas Misbakhun, memberi peran yang lebih kuat terhadap LPS, BI, dan OJK dalam semua lini keuangan.

Maka dari itu, dia menegaskan kalau keberhasilan Indonesia menghadapi krisis akibat dari Covid-19, adalah peran dari konsolidasi semua pihak, termasuk di dalamnya adalah DPR RI.

“Masyarakat mungkin menganggap DPR ini hanya mencari popularitas, tetapi pada saat itu DPR memainkan peran sebagai institusi yang mengagregasi semua keluhan. Pada saat itu kita tidak melihat Perbedaan politik. Yang kita lihat kelangsungan bangsa, kelangsungan peradaban manusia, dan itu harus diselamatkan,” katanya.

Setelah paparan terbuka dan juga tanya jawab berakhir, tim penguji melakukan rapat tertutup beberapa menit untuk memutuskan hasil ujian Misbakhun itu. Selanjutnya, Prof. Yolanda  mengumumkan hasilnya. 

“Mukhamad Misbakhun dinyatakan lulus dengan predikat cum laude,” ucapnya.

Misbakhun meraih gelar doktor ke-805 yang dihasilkan FB Usakti. Selain itu, Misbakhun juga menjadi doktor ke-71 yang dihasilkan Usakti untuk ilmu di bidang kebijakan publik.

Sejumlah tokoh hadir menyaksikan Misbakhun mempertahankan disertasinya, yakni mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa bersama wakilnya, Lana Soelistianingsih, anggota Dewan Komisioner OJK Friderica Widyasari, serta tiga anggota BPK, yakni Daniel Tobing, Slamet Edi Poernomo, dan Nyoman Adhi Suryadnyana, juga perwakilan dari Badan Supervisi Bank Indonesia, Badan Supervisi OJK, dan Badan Supervisi LPS.

Ada pula kolega Misbakhun sesama politikus yang hadir untuk memberikan tahniah, seperti eks Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, dan para politikus Golkar yakni Robert Kardinal, Sarmuji, Nurul Arifin, dan Dewi Asmara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya