Megawati: Sekarang Pemilunya Langsung tapi Kok jadi Abu-abu Gitu Sudah Direkayasa
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menyinggung gonjang ganjing anomali TNI-Polri yang dibawa lagi ke politik praktis. Megawati menyampaikan itu karena merasakannya di Pilpres 2024 yang baru saja berlalu.
Dia mengatakan dirinya sebagai Presiden RI yang merasakan langsung Pilpres 2004 yang pertama kali dipilih rakyat. Kata Megawati, saat itu proses Pilpres berhasil.
"Loh, kok sekarang pemilunya langsung tapi kok jadi abu-abu gitu sudah direkayasa," kata Megawati di forum Rakernas V PDIP, Ancol, Jakarta, Jumat, 24 Mei 2024.
Megawati menuturkan banyak pihak dari civil society seperti ahli hukum dan lainnya yang menyoroti proses Pemilu 2024.
"Semuanya berkata civil society ahli hukum dan lain sebagainya. Kok sepertinya gak ada yang akan bilang oh ya betul bukan begitu seharusnya," jelas Megawati.
Dia heran dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang seperti tak ada suara. Tapi, ia protes jika dilarang bersuara.
"Saya boleh dong bersuara. Katanya kita ini negara demokrasi menjalankan demokratisasi," tutur Megawati.
"Untuk apa ada reformasi, kalau reformasi sekarang menurut saya kok sepertinya hilang atau dalam sekejap," ujar Megawati.
Megawati menyuarakan dulu Reformasi menempatkan nepotisme kolusi dan korupsi sebagai musuh bersama. Maka itu, dibuatlah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"KPK itu juga saya yang buat. Heran loh barang yang bagus-bagus tapi sekarang dipergunakannya menjadi tidak bagus," sebut Megawati.
Pun, dia menyinggung Mahkamah Konstitusi (MK) yang bisa diintervensi kekuasaan. Hal itu seperti perkara putusan nomor 90 terkait syarat usia cawapres.
"Nampak jelas melalui keputusan terhadap perkara nomor 90 yang menimbulkan banyak antipati ambisi kekuasaan. Sukses mematikan etika moral dan hati nurani hingga tumpang tindih kewenangannya dalam demokrasi yang sehat," ujar Megawati.
Lebih lanjut, Megawati mengatakan dalam sistem politik negara kesatuan yang berbentuk republik seharusnya hanya ada satu lembaga di tingkat nasional yang memiliki fungsi legislasi. Menurut dia, dengan demikian setiap penambahan materi muatan dalam suatu UU harus lahir melalui proses legislasi di DPR RI.
"Bukan melalui judicial review di MK sebagaimana terjadi akhir-akhir ini," tuturnya.