PDIP Tolak RUU Penyiaran yang Larang Jurnalisme Investigasi

Ketua Steering Comittee (SC) Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-V PDIP, Djarot Saiful Hidayat
Sumber :
  • VIVA.co.id/Rahmat Fatahillah Ilham

Jakarta - PDIP menentang adanya pelarangan jurnalisme investigasi yang wacananya dimasukkan dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.

Wamendagri Bima Arya: Validitas Data Dukcapil Kunci Sukses Indonesia Emas 2045

"Tentang RUU Penyiaran, PDI Perjuangan mendorong supaya RUU Penyiaran ini benar-benar tidak menghapuskan penyelidikan secara investigatif," ujar Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, dikutip Jumat, 17 Mei 2024.

PDIP, kata Djarot, menilai bahwa pers itu pilar keempat demokrasi. Seharusnya negara memberikan ruang kepada pers untuk menjaga demokrasi yang bersih.

Tingkatkan Kompetensi Karier dan Wirausaha, Pelatihan Inovatif Beri Kebutuhan Generasi Siap Kerja

Ilustrasi sidang Paripurna DPR.

Photo :
  • VIVA.co.id/Eduward Ambarita

"Jangan sampai karena ketakutan yang berlebihan kemudian pers dengan penyiaran negatif kemudian dilarang," tegas Djarot.

Anies dan Anak Abah Berlabuh Dukung Pramono-Rano, Hasto PDIP: Arus Balik Perlawanan

DPR RI berinisiatif untuk menggantikan UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran melalui revisi Undang-Undang.

Diketahui, salah satu ketentuan dalam UU Penyiaran yang jadi sorotan publik adalah larangan penayangan eksklusif jurnalistik atau jurnalisme investigatif.

Ketentuan tersebut dinilai sebagai bentuk pembungkaman kebebasan pers. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 50B ayat 2 butir c dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang menyatakan larangan penayangan eksklusif jurnalistik Investigatif.

Aksi menentang kekerasan terhadap jurnalis. (Foto ilustrasi).

Photo :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

DPR RI juga memastikan draf RUU Penyiaran itu belum final. Sehingga, masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU tersebut. 

“RUU yang beredar bukan produk yang final,” kata anggota Komisi I DPR Nurul Arifin kepada awak media, Selasa, 14 Mei 2024.

Nurul menjelaskan, ada beberapa pasal dalam RUU Penyiaran yang mendapat kritik dari publik. Misalnya, Pasal 8A ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42 yang memberikan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.

Selain mengenai pasal pemberian kewenangan kepada KPI, Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi, juga menuai kritik. 

“Terdapat beberapa pokok yang diatur dalam RUU Penyiaran ini, seperti pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI, hingga penegasan migrasi analog ke digital atau analog switch-off,” kata politikus Partai Golkar itu. 

Ditambahkannya, RUU Penyiaran ini merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang sudah digulirkan sejak tahun 2012. 

Namun seiring dengan perkembangan teknologi, menurut Nurul, perlu penguatan regulasi penyiaran digital khususnya layanan Over The Top (OTT) dan User Generated Content (UGC). 

“Jadi secara substansi kita memang membutuhkan revisi UU Penyiaran ini,” ujarnya. 

Lebih lanjut Nurul mengatakan, Komisi I terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran karena RUU tersebut masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi, Baleg DPR. 

“Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini,” imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya