Larangan Jurnalisme Investigasi dalam RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers, Menurut Pengamat

Ilustrasi industri penyiaran.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Jember - Pengamat politik Universitas Jember Muhammad Iqbal menilai bahwa munculnya pasal larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigatif dalam RUU Penyiaran pada draf terakhir itu sangat jelas mengancam kebebasan pers dan lonceng bahaya bagi gaung demokrasi.

Pentingnya Akses Informasi tentang Inovasi Produk Bebas Asap bagi Perokok Dewasa

"Entah apa yang merasuk dalam diri pembuat draf RUU Penyiaran itu sampai eksplisit menyertakan diktum melarang penayangan produk jurnalisme investigatif," katanya menanggapi rencana revisi UU Penyiaran di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa malam, 14 Mei 2024.

Menurutnya sejarah pers dalam arti luas yang juga mencakup ranah penyiaran justru menemukan jati diri fungsi kontrol sosial melalui praktik jurnalisme investigatif, sehingga ada mandat yang diemban insan dan institusi pers memenuhi hak publik atas informasi berdasarkan kebenaran dan keadilan faktual.

Pilpres 2024 Dinilai Mulai Geser Demokrasi RI Jadi Otokrasi Elektoral yang Mengkhawatirkan

Ilustrasi/Jurnalis menggelar aksi unjuk rasa

Photo :
  • ANTARA/Darwin Fatir

"Pola dan cara insan pers menggali informasi secara investigatif lalu mewartakan atau menyiarkan hasil investigasi jurnalisme-nya adalah hakikat kebebasan pers," ujar pakar komunikasi dan pemerhati media itu.

PDIP: Pilkada Langsung Beri Pendidikan Politik kepada Masyarakat

Untuk itu, kata dia, segala upaya pelarangan kepada hakikat itu atas alasan apa pun sejatinya adalah ancaman pada kebebasan pers karena fungsi dan kerja pers memang harus memenuhi prinsip liputan dua sisi, cek dan ricek dengan menggali baik realitas psikologis (berupa opini) maupun realitas sosiologis (kebenaran faktual).

"Semua itu bertujuan untuk memenuhi hak publik atas kebenaran informasi secara komprehensif dan independen. Praktik jurnalisme Investigatif diyakini mampu memenuhi prinsip dan tujuan itu," katanya.

Dosen HI FISIP Unej itu menilai bahwa sangat tidak masuk akal jika ada upaya berkedok konstitusional menyelundupkan pasal yang melarang fungsi penayangan hasil jurnalisme investigatif, karena hak publik dan nasib demokrasi serta independensi pers niscaya terancam.

Ilustrasi industri penyiaran.

Photo :
  • Pixabay/Gadini

"Ada simpul kekuasaan politik ekonomi yang sangat terusik dengan betapa tajam dan kritisnya produk jurnalisme investigatif ketika berhasil mengungkap suatu kebijakan atau persekongkolan jahat yang merugikan kepentingan publik," ujarnya.

Iqbal menjelaskan segenap masyarakat dan wakil rakyat sudah seharusnya menolak pasal pelarangan itu dan pasal-pasal lain yang potensial mengerdilkan bahkan memberangus kebebasan serta independensi pers di ranah penyiaran.

"Kami berharap di akhir sisa masa kekuasaan Presiden Jokowi maupun rezim baru presiden Prabowo, tidak ada lagi upaya kekuasaan politik yang mengancam kebebasan berekspresi, kebebasan pers dan nasib demokrasi," tuturnya.

Menurutnya, malu rasanya bangsa Indonesia yang menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia masih dihantui oleh anasir dan praktik yang potensial mengancam kualitas demokrasi. (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya